Sebenarnya ini cuma suatu pemikiran yang sekelebat lewat. Random banget sih, tapi entah kenapa saya jadi kepikiran aja gitu. Pas lagi dikasih waktu buat nge-blogwalking setelah sekian lama susah banget nyari waktu buat ngelakuin itu, tiba-tiba saya nggak sengaja menemukan beberapa tulisan tentang keluarga yang ditulis oleh teman saya. Sebenarnya tulisannya ada banyak, nggak cuma satu atau dua. Tapi intinya teman saya itu menceritakan tentang apa-apa yang terjadi di keluarganya; entah tentang kegiatan sehari-hari bersama keluarganya atau tentang kerinduannya saat merantau beberapa tahun yang lalu. Tulisannya banyak dan cukup menarik, tapi yang benar-benar jadi perhatian saya saat itu adalah beberapa tulisannya yang menceritakan tentang kelucuan adik-adiknya yang Masya Allah, ternyata mereka sudah bisa mengenal Allah di usia yang bahkan angkanya belum mencapai dua digit.
Tentu saja awalnya saya malu. Saya jadi berpikir, sekecil itu saja mereka sudah mulai kepikiran tentang akhirat dan selalu meminta doa untuk kebaikan ummat. Dulu kayaknya waktu saya umur segitu, semua doa saya isinya cuma tentang dunia saja. Yang setelahnya pemikiran itu jadi menghantarkan saya ke pemikiran yang lain. Tentang parenting. Saya jadi kembali berpikir, nanti kalau saya dikasih rezeki dan amanah untuk menikah dan menjadi orang tua, cara mendidik seperti apa yang harus saya ajarkan kepada mereka, ya? Jelas jauh di dalam hati saya, saya ingin anak-anak saya seperti adik-adiknya teman saya itu. Atau minimal seperti kedua adik saya―Aisyah dan Azizah.
Saya ingin mereka kelak bisa memahami bahwa sejatinya tujuan mereka hidup di dunia ini semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah. Tapi masalahnya, sampai saat ini pun saya belum tahu pasti bagaimana caranya. Saya tidak mau bohong dan sangat menyadari bahwa sebenarnya saya juga masih jauh dari kriteria itu sendiri. Mungkin tidak hanya jauh, tapi sangat-sangat jauh. Saya terlambat, baru benar-benar belajar mencintai Allah itu di umur yang sudah kepala dua ini. Terlambat sekali. Tapi setidaknya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan, ya? Semoga Allah mau mengampuni kesalahan-kesalahan saya di masa kejahiliyahan saya dulu. Aamiin.
Dan kembali membahas soal parenting, saya jadi ingat obrolan saya dengan Murobbi saya dan suaminya di suatu pagi beberapa bulan yang lalu. Meskipun saya tidak begitu ingat bagaimana kalimat pastinya, tapi pada intinya mereka mengatakan bahwa ilmu parenting itu justru harus disiapkan jauh-jauh hari sebelum menikah, bukan saat ingin atau sudah menikah, apalagi saat sudah memiliki anak. Katanya anak itu bukan sebuah objek percobaan, jadi memang kita tidak boleh asal coba-coba dalam mendidik anak. Akibatnya akan sangat fatal jika ada sedikit saja kesalahan yang kita lakukan dalam mendidik anak. Apalagi dengan kondisi dunia yang sudah sangat menyeramkan saat ini. Di zaman saya saja dunia sudah sangat menakutkan dan sangat menjerumuskan, lalu bagaimana dengan dunia anak-anak saya nantinya?
Ah, sepertinya saya harus banyak-banyak belajar ilmu parenting.
Jakarta, 27 Mei 2018
Lagi-lagi saya jadi memikirkan hal-hal random