Published Selasa, Juli 31, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Nostalgia Lagu Minggu Ini

Akhir minggu kemarin sewaktu lagi iseng-iseng buka folder lama, tiba-tiba nemu beberapa file video masa-masa kuliah dulu. Lalu dari beberapa video itu, ada beberapa momen yang tiba-tiba aja bikin kangen gitu. Dan dari beberapa momen itu juga, ada momen-momen yang bisa dikaitkan dengan sebuah lagu. Bukan karena momennya mirip-mirip atau memiliki arti yang sama dengan lagu-lagu itu, tetapi entah kenapa setiap mendengarkan lagu-lagu ini, ada beberapa hal yang jadi terpikir dan bikin aku jadi bernostalgia sedikit.

Sebenarnya lagunya ada banyak, tapi aku cuma bakal nyebutin 3 lagu aja. Lagu yang benar-benar ngena dan ada feel-nya, sekaligus terkadang bikin kangen.

1. Justin Timberlake, Mirrors
Yang pertama adalah lagu dari Justin Timberlake yang berjudul Mirrors. Padahal lagu ini dulu-dulu udah sering banget diputar di lab MM kalau lagi gabut gitu, tapi tetap yang keingat ya momen sewaktu ngerjain tugas di saung dekat asrama sewaktu tahun pertama kuliah.

Jadi waktu itu kalau nggak salah udah agak malam, sekitar jam 10-an ke atas. Aku dan beberapa teman kelasku lagi sibuk-sibuknya ngerjain tugas besar di saung dekat asrama putri. Iya, dulu sewaktu saung itu belum dibongkar dan diubah jadi kayak yang sekarang, kami suka banget kumpul-kumpul di situ. Dari soal ngerjain tugas, sekedar ngobrol-ngobrol, rapat kelas yang membahas soal makrab, meeting point kalau mau jalan-jalan, dan lain sebagainya. Dan waktu itu, kalau nggak salah kelompokku sedang ngerjain tugas besar mata kuliah Dasar Algoritma dan Pemrograman (DAP).

Waktu itu aku sekelompok sama Sitah, Berto dan Imam. Tapi lucunya, mereka ini dulu belum ada sama sekali yang bisa ngoding, sedangkan DAP itu mata kuliah yang berhubungan dengan dunia perkodingan. Alhasil, waktu itu aku yang kebagian tugas untuk ngodingin aplikasinya, sedangkan Sitah kebagian tugas untuk menyusun laporannya. Kalau Imam dan Berto? Imam bagian pergi-pergi beli keperluan perut alias beli-beli minum sama jajan waktu lagi ngumpul ngerjain tugas gitu, dan Berto bagian ngelawak alias yang bertanggungjawab dalam mengatur mood biar akunya nggak capek pusing-pusing sendirian.

Dan pas di akhir-akhir hari mepet-mepet deadline gitu, yang kalau nggak salah besoknya udah harus presentasi sedangkan program dan laporannya belum sempurna jadi padahal waktu udah menunjukkan hampir tengah malam begitu, aku mulai kelihatan stress dan panik sendiri. Jadi aku ngoding sambil nyubit-nyubit Sitah yang duduk di sampingku, atau bengong-bengong sendiri menerawang kodingan yang entah kenapa error-error terus. Dan mungkin karena kasihan lihat aku yang udah stress kayak gitu, jadinya waktu itu Berto sama Shamila (salah satu teman kelasku juga, tapi beda kelompok) pun memutuskan untuk nyanyi-nyanyi gitu. Katanya buat menghibur aku yang udah nggak karuan bentuknya.

Ya udah. Jadinya lagu ini pun jadi terngiang-ngiang banget di telinga aku waktu itu. Soalnya Berto dan Shamila itu nyanyinya lucu, pake teriak-teriak dan menggumam gitu karena masing-masing nggak ada yang hafal benar-benar liriknya. Terus pake joget-joget segala gitu lagi, hehe. Apalagi temanku yang namanya Berto itu juga kan orangnya lucu dan ekspresif, makanya kalau aku denger lagu ini dimanapun, bahkan sampai minggu kemarin sewaktu aku pergi main sama temanku di sebuah mall di Jakarta dan ada yang muter lagu ini, aku langsung kayak otomatis aja gitu inget sama kejadian waktu itu. Benar-benar langsung kayak keputer lagi aja gitu rekaman waktu itu di otak aku, dan langsung bikin rindu. Duh...

2. John Legend, All of Me
Berbeda sama lagu yang pertama, lagu ini sebenarnya nggak mengingatkan aku dengan momen yang berhubungan langsung sama kejadian yang aku alami sendiri. Jadi lagu ini itu merupakan lagu favoritnya salah seorang teman kelasku yang namanya Irham. Dan kenapa bikin keingetan terus, ya karena dulu itu Irham selalu nyanyi ini dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun, sampai aku bosen gitu ngedengernya. Benar-benar setiap hari dan setiap saat. Mau lagi nunggu pergantian kelas, lagi kelas kosong, lagi makan di kantin, lagi mau istirahat, lagi jalan ke masjid, pokoknya kemanapun dia nyanyi lagu ini. Dengan wajahnya yang datar dan tanpa ekspresi lagi.

Dan beberapa teman kelasku pun kalau denger lagu ini pasti barengan mengucapkan kalimat, "Ini lagunya Irham." saking seringnya Irham nyanyi lagu ini, dulu, yang ternyata hal itu bisa jadi bahan tertawaan seisi kelas. Sebegitu sederhananya ya kebahagiaan anak-anak di kelas aku :"

3. Gym Class Heroes, Stereo Hearts & The Script, Hall of Fame
Nah kalau lagu yang terakhir ini adalah lagu yang benar-benar bikin kangen dan ada makna tersendiri di momennya. Kadang aku bisa sampai nangis dan ketawa sendiri sih pas inget sama momen itu, soalnya benar-benar lucu dan bikin pengen kayak balik ke masa lalu gitu saking kangennya. Kenapa coba? Soalnya gini...

Jadi sewaktu masih kuliah dulu, kan di jurusan itu ada acara Dies Natalies gitu kan. Dan setiap kelas diwajibkan untuk ikut lomba-lomba gitu, yang salah satunya adalah lomba Informatics Got Talent (IGT). Kalau nggak ikutan bakal ada dendanya. Makanya waktu itu, kelasku memutuskan untuk tampil dengan ide yang seadanya, alias benar-benar nggak karuan. Soalnya kami waktu itu awalnya mau tampil nyanyi-nyanyi aja bikin band instrumental gitu, dan yang tampil ya anak laki-lakinya aja. Cuma waktu itu kalau nggak salah anak-anak yang bisa nyanyi dan bermain musik itu adalah anak-anak yang asli Bandung, alias anak rumahan yang nggak setiap saat bisa disuruh latihan dan pulang kuliah dengan terlambat. Setelah latihan dua-tiga kali dan nggak ada kemajuan apa-apa, terus juga kayak cuma ngabis-ngabisin waktu buat nunggu-nunggu pada kumpul semua, alhasil rencana itu pun diubah.

Tapi karena udah bingung dan nggak tau mau nampilin apaan, akhirnya kami pun memutuskan untuk nyanyi biasa aja dengan iringan instrumen yang udah ada, alias nggak pakai pemain bandnya gitu. Tapi tetap, kami nggak pengen kelihatan terlalu biasa, makanya kami pun memilih yang kedua lagu itu yang di mash-up gitu. Dan percaya atau tidak, aku juga ikutan nyanyi di situ, hahaha. Padahal suara jelek begini, tapi tetep aja disuruh ikutan dan entah kenapa juga akunya percaya diri. Udah gitu lucunya, karena saking pasrahnya dan emang sengaja pengen buat lucu-lucuan aja, jadinya kami pun membuat skenario gitu.

Jadi ceritanya ada lima orang yang bakal nyanyi lagu mash-up itu. Terus di hampir akhir-akhir lagu gitu, tiba-tiba ada segerombolan zombie yang datang dan bikin lima orang yang lagi nyanyi itu lari terbirit-birit. Terus terakhirnya gimana? Ya zombie-zombie itu tiba-tiba jadi nari-nari nggak jelas barengan, semua lagu kayak lagi senam gitu, sampai highlight-nya mereka goyang poco-poco. Dan anak-anak kelas aku itu benar-benar totalitas loh, soalnya mereka juga di make up seram-seram gitu, pakai bajunya juga yang modelnya robek-robek. Video penampilan kami juga sempat jadi teaser IGT tahun setelahnya lho, bangga nggak? hehe.

Dan ya udah. Tiga aja lagunya. Soalnya lagu sisanya, momennya kurang pas untuk diceritakan di tempat umum. Alias kalau aku ceritain di sini, nanti aku bisa dimarahin sama orang yang bersangkutan karena lagu itu mengandung rahasia dari beberapa orang, hehe :"

*notes: aku merekomendasikan buat ndengerin lagu yang ketiga, yang versi mash up-nya. Soalnya keren banget.


Jakarta, di akhir bulan Juli.
Padahal udah sering dibilangin buat nggak begadang,
tapi rasanya kantuk itu jarang sekali datangnya.
Read More
Published Kamis, Juli 26, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Keresahan Hati #1

Akhir-akhir ini ada banyak sekali hal-hal yang sekelebat lewat, namun sedikit menjadi beban pikiran. Meski tidak semuanya adalah hal-hal yang aku alami sendiri, tetapi hal-hal yang begini satu-dua kali sempat agaknya sedikit menyita waktuku karena terus-terusan bikin kepikiran. Tapi, dengan harap agar bisa sedikit meringankan beban pikiran ini, mari aku ceritakan satu persatu hal-hal itu.

***

Hal yang pertama adalah soal pernikahan. Jadi sewaktu di perjalanan panjang dari Jogja ke Jakarta kemarin, seorang teman sempat menanyakan sesuatu hal kepadaku, yang kurang lebih kalimatnya seperti ini. "Gimana ya kalau ternyata orang yang kita suka itu nikah sama orang lain? Atau, gimana ya rasanya kalau ternyata ada orang yang suka sama kita, yang kitanya juga suka sama dia, tapi kita udah keburu nikah sama orang lain karena orang itu nggak cepet-cepet ngedatengin kita? Atau malah dianya jadi nikah sama orang lain karena menganggap kalau kita itu nggak suka sama dia?" Yang setelahnya menambah pertanyaan lain, seperti, "Gimana ya kalau ternyata kita itu sebenarnya saling suka sama seseorang, tapi kita juga saling nggak tahu, saling minder, dan akhirnya malah masing-masing give up terus malah jadi saling berusaha melupakan satu sama lain?"

Yang juga akhir-akhir ini kusimpulkan bahwa mungkin jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan itu adalah: berarti kita tidak berjodoh. Huhu.

***

Hal yang kedua adalah tentang bersikap ramah dan berbuat baik kepada orang lain. Kalau hal yang ini sempat beberapa kali aku alamin sendiri. Jadi selama beberapa tahun belakangan ini, aku sempat memiliki beberapa teman laki-laki yang cukup dekat. Bukan dekat dalam hal yang cinta-cintaan, tapi lebih ke kami itu dekat karena entah mengapa mereka kalau ada masalah itu ceritanya ke aku, ditambah karena kami juga sering main bareng dengan teman-teman yang lain. Dan kalau boleh jujur juga, mereka-mereka ini termasuk orang-orang yang terkenal dan banyak fans-nya, alias banyak yang mengagumi dan suka dengan mereka dari dekat maupun jauh.

Singkat cerita, karena aku dekat dan sering bareng sama mereka, aku jadi tahu beberapa perempuan yang juga dekat dengan mereka, yang sebagian diantaranya pun merupakan temanku sendiri. Dan di sinilah yang menjadi permasalahan buatku. Entah mengapa, kalau mendengar cerita dari teman-temanku ini, perempuan-perempuan yang dekat dengan mereka itu kalau diajak ngobrol dan saling berkirim pesan itu katanya asik-asik dan nyambung-nyambung. Cara berbalas pesannya pun penuh tawa dan humor. Tapi, ketika aku yang mencoba ikut-ikutan berkomentar atau misalkan menyahuti storygram yang mereka upload, respon yang mereka berikan justru terkesan cuek dan jutek. Malah terkadang seperti tidak bersahabat sama sekali. Padahal kalau dibilang kenal dan dekat, ya kami itu sudah kenal, dan cukup dekat. Kalau bertemu pun biasa saja. Tapi entah kenapa respon yang diberikan lewat private message itu berbeda. Terkadang dijawab dengan jutek, terkadang seperti ingin buru-buru diakhiri, sampai terkadang juga seperti sedikit memusuhi. Padahal yang aku lakukan tidak jauh berbeda dengan teman-temanku itu.

Dan kejadian ini membawaku ke pemikiran-pemikiran seperti, apa ada yang salah dengan sikap aku? Atau aku terkesan sok kenal, sok asik, dan sok-sok lainnya? Tapi kan kalau karena itu, justru mereka-mereka itu lebih tidak kenal dan tidak dekat dengan teman-teman laki-lakiku ini. Dan yang pada akhirnya mengantarkanku pada pemikiran yang konotasinya sedikit buruk, seperti mungkin mereka baik karena mereka suka dengan teman-temanku itu. Tapi di situ aku juga jadi berpikir kembali, apa berbuat baik atau ramah kepada orang lain itu harus dibatasi? Maksudnya, hanya untuk orang-orang yang memang memberi manfaat dan bersinggungan langsung saja dengan kita? Atau terbatas hanya untuk orang-orang yang kita suka saja? Soalnya kalau teman-temanku itu meminta tolong untuk hal-hal yang sepele sampai sedikit memberatkan, mereka-mereka itu semangat sekali untuk membantunya. Sampai heran aku dibuatnya.

Entahlah. Aku jadi bingung sendiri untuk menceritakannya. Tapi yang pasti, untuk hal-hal yang begini aku itu sudah sangat sering mengalaminya. Dan berkali-kali mengadukannya juga ke teman-temanku itu, tapi selalu dibilang kalau itu hanya perasaanku saja, atau jawaban-jawaban lainnya yang membuatku memutuskan untuk tidak memedulikannya, meskipun jelas rasanya sedikit menyakitkan. Hiks.

***

Hal yang ketiga adalah tentang relationship dan masa depan. Jadi beberapa hari belakangan ini, karena suasana kantor lagi lumayan sepi, di sela-sela kesibukan itu aku sering diajak ngobrol oleh salah satu temanku. Obrolannya juga cukup berat, tentang psikologi dan buku-buku luar yang membahas tentang ini. Karena kebetulan aku juga tertarik dengan dunia psikologi, maka aku pun benar-benar mendengarkan setiap apa yang dibicarakan oleh temanku ini, berharap mendapatkan beberapa ilmu baru yang tertuang dalam buku yang harga-harganya cukup mahal itu.

Singkat cerita, tiba-tiba temanku bilang kalau di sebuah buku psikologi luar, dituliskan bahwa kita harus 'mengenal' 10 orang yang berbeda terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah dengan seseorang. Tentu saja temanku ini juga bilang, kalau berdasarkan apa yang kita yakini, jelas ini sangat bertentangan. Dan pembicaraan ini juga membuatku ingat dengan nasihat yang diberikan oleh temanku saat aku sedang galau-galaunya, yang intinya itu dia bilang kalau tidak perlu mencari orang yang sempurna. Dan yang terpenting, juga tidak perlu mencari-cari yang jauh kalau memang ada yang dekat dengan kita. Kedua pendapat tadi berkebalikan, bukan? Lalu, siapa yang salah? Dan mana yang benar?

Tapi sore tadi aku jadi mengambil kesimpulan sendiri. Kalau dari kedua pendapat itu, tidak ada yang benar maupun salah. Itu tergantung dari masing-masing orangnya, bukan? Aku agak kesulitan untuk menjelaskan maksudnya sih, tapi intinya itu benar kalau sebelum memilih dan memutuskan dengan siapa kita akan menikah misalnya, terkadang kita harus mengenal sifat-sifat orang yang berbeda-beda terlebih dahulu untuk menilai mana yang pantas untuk kita. Karena misalkan kita sudah yakin dengan A, dengan kondisi yang memang setiap hari kita bertemunya dengan si A terus, lalu pas keluar dari zona nyaman itu ternyata kita ketemu si B yang rupanya kalau dirasa-rasa jauh lebih baik daripada si A, malah jadi masalah sendiri, kan? Bisa-bisa kita menyesal dengan keputusan itu. Tapi itu juga berlaku untuk pendapat yang mengatakan kalau tidak perlu mencari yang sempurna dan tidak perlu jauh-jauh. Karena kalau kita terlalu sibuk mencari yang sempurna, maka kita akan kehilangan yang terbaik. Lagipula, untuk apa cari yang jauh-jauh kalau yang dekat saja sudah cukup? Intinya, itu semua tergantung diri kita masing-masing. Sejauh mana dan sebatas apa kriteria yang kita butuhkan untuk bisa merasa cukup. Mungkin, hehe.

***

Hal yang keempat adalah tentang perpisahan. Jadi beberapa minggu lalu aku dapat kabar kalau Rinaldy (temanku, biasanya aku memanggil dia dengan sebutan Keju), bulan ini akan resign dari kantornya dan memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Bali untuk menemani ayahnya. Selain itu, di minggu ini juga, aku dapat kabar kalau Yono (rekan kerjaku di kantor, yang juga merupakan temanku dari smk sampai kuliah), juga mau resign. Jumat besok adalah hari terakhir dia masuk ke kantor.

Kabar itu menunjukkan bahwa dari 8 orang member Laboratorium Multimedia (MM) angkatanku yang bekerja di Jakarta, tiga diantaranya akan resign (soalnya aku juga insya Allah akan resign bulan ini). Dan yang berarti, kami akan berpisah. Sebenarnya hal ini sih yang lebih banyak bikin kepikiran. Soalnya mereka-mereka itu benar-benar sudah seperti keluarga sendiri, yang rasanya saling tolong-menolong itu sudah menjadi kebiasaan kami. Dan berpisah dengan mereka, membuatku sedih... Makanya jadi kepikiran, hiks.

***

Melanjut dari hal yang keempat, sebenarnya ini cuma tambahan saja sih. Jadi di sini aku pengen cerita sedikit soal Keju. Mulai dari pertama kenal hingga sekarang sudah mau pisah begini.

Jadi awal aku kenal dengan Keju itu sebenarnya sewaktu kami sama-sama menjadi asisten laboratorium (aslab) MM dulu. Keju yang nggak banyak bicara dan luar biasa cuek itu, waktu itu diamanahkan untuk menjadi kordas lab, dan aku yang jadi sekertarisnya. Tapi waktu itu kami juga belum dekat-dekat banget, juga belum banyak interaksinya karena kalau ada apa-apa yang mengharuskan aku dan Keju untuk saling berinteraksi, biasanya aku akan meminta tolong ke bendaharanya, saking takutnya aku sama Keju, hehe.

Singkat cerita, ditengah-tengah masa jabatan itu, tiba-tiba salah seorang temanku menyeletuk dan mengajak orang-orang yang lagi makan di sofa depan lab untuk jalan-jalan ke daerah-daerah yang sejuk-sejuk, alias kayak sejenis pegunungan, pantai, dan lain sebagainya begitu. Dan karena kebetulan Keju itu orangnya sangat menyukai fotografi, maka pembicaraan yang awalnya kayak bercanda-bercanda dan nggak ada serius-seriusnya itu malah jadi kenyataan. Ya, akhirnya di akhir pekan di minggu itu juga, kami pun beneran jadi jalan-jalan berdelapan, menggunakan mobil milik salah seorang temanku. Keju itu emang orangnya begitu sih, kalau bilang iya pasti bakal iya. Dan hal ini juga keterusan, alias setelah-setelahnya kami jadi terbiasa untuk jalan-jalan berdelapan, sampai bikin grup segala, dan benar-benar kayak yang setiap minggu kami pasti jalan-jalan berdelapan. Kalau ada yang ulang tahun dan traktiran juga pasti ngajaknya cuma yang berdelapan itu. Dan yang pastinya, Keju yang jadi fotografer momen-momen kita itu.

Tapi meskipun sudah berkali-kali jalan-jalan begitu, hal itu tidak juga membuatku dekat dengan Keju. Kami masih canggung, dan kalau jalan-jalan pun aku kayaknya nggak pernah ngobrol banyak-banyak sama Keju. Sampai akhirnya, seorang temanku yang lain mengajakku untuk mendaftar di kantornya, yang Alhamdulillahnya setelahnya aku diterima di situ dan jadi tinggal di Jakarta. Dan di sinilah cerita tentang kedekatanku dengan Keju itu mulai terjadi. Jadi kalau tidak salah waktu itu, hanya berbeda beberapa hari, Keju dan seorang temanku yang lain juga diterima kerja di Jakarta. Tentu saja aku jadi senang dong, karena berarti di Jakarta itu aku nggak kesepian dan banyak temannya. Dan waktu itu kalau tidak salah di minggu pertama kerja, kami langsung melakukan trip ke Bandung ramai-ramai pakai bus yang cheating, alias naik dan turun tidak pada tempatnya untuk mendapatkan harga yang lebih murah.

Ya. Berawal dari trip ke Bandung itu, lalu sewaktu aku minta ditemenin jalan-jalan di Jakarta karena sedang libur natal dan aku tidak kedapatan tiket pulang (dan teman-temanku itu mau nemenin, termasuk Keju), sampai trip ke pernikahannya Kak Riza, lambat laun aku jadi semakin dekat dengan Keju. Entah kenapa tiba-tiba saja jadi ada banyak hal yang sama antara aku dan Keju, dan kayak dunia itu begitu sempit bagi kami. Dari soal sewaktu Ummi sakit dan dijenguk oleh temannya yang ternyata merupakan pakdenya Keju, lalu ditambah dengan pakdenya Keju itu juga merupakan satu rombongan dengan Ummi dan Abi sewaktu haji kemarin, terus rumah pakdenya Keju itu yang juga ternyata jaraknya tidak jauh dari rumahku, dan hal-hal yang lainnya. Sampai soal handuk yang ternyata dari warna, bentuk, ukuran, dan merk yang sama dan tidak bisa dibedakan sewaktu lagi menjemur handuk-handuk itu di bagasi mobil saat ke Jogja kemarin.

Lalu Keju ini juga jadi sering bertanya soal kodingan ke aku karena di tempat kerja dia itu, dia ditempatkan sebagai seorang Frontend Developer, disaat selama ini aku tahunya dia itu lebih cocok jadi UI/UX Designer, yang membuat kami yang dulunya nggak pernah ngobrol, jadi sering ngobrol. Sampai soal sewaktu lagi nunggu kereta di stasiun pasar senen kemarin, pas aku lagi bertanya soal Turina (pacarnya Keju), yang tiba-tiba malah menjalar ke soal penyakit Ibunya. Bahkan Keju ceritanya kayak mengalir aja, padahal aku dan dia itu nggak pernah cerita-cerita atau ngobrol-ngobrol banyak. Sampai aku juga sempat ngelihat kalau mata Keju itu agak berkaca-kaca sewaktu cerita soal itu. Oh iya fyi, ibunya Keju ini baru saja meninggal sebulan yang lalu.

Dan jujur, sewaktu mulai kenal dan dekat dan Keju, sebenarnya aku itu agak sedikit tidak percaya dan kayak apa ya rasanya. Aku bahkan sampai bilang ke temanku kalau rasanya aneh gitu gara-gara mulai dekat dengan Keju. Dari yang dulunya cuek banget, sampai ternyata aku jadi sadar kalau Keju itu orangnya perhatian, baik, suka menolong, dan lain sebagainya, pokoknya yang baik-baik. Benar-benar sosok teman idaman. Bahkan temanku ini bilang kalau aku dan Keju itu kayak adik-kakak, kayak anak kembar, dan kayak-kayak yang lainnya.

Tapi ya begitu, sedihnya sewaktu sudah mulai dekat dengan Keju seperti ini, ternyata kami harus dipisahkan oleh ruang dan waktu. Eh, Purwokerto dan Bali zona waktunya berbeda kan, ya? Hehe. Ya, intinya sebulan berikutnya, aku nggak akan bisa ketemu Keju lagi, sesering beberapa bulan belakangan ini. Begitu juga dengan teman-teman yang lain. Sebulan berikutnya, kami bakal mulai menjalani kehidupannya masing-masing. Kalau kata temanku, kami sudah akan berbeda eranya. Hiks, sedih ya... Dan menulis cerita tentang Keju kayak gini juga bukan dengan maksud apa-apa. Cuma karena aku respect dan senang aja karena sudah kenal dengan orang kayak Keju. Semoga keputusanmu untuk menemani ayahmu di Bali membawa keberkahan dan pahala tersendiri buat kamu ya! Aamiin, hiks..

***

Sebenarnya masih ada banyak keresahan-keresahan hati yang lainnya. Tapi aku udah keburu ngantuk. Jadi mungkin dilanjut besok saja ya, di part 2-nya...
Read More
Published Kamis, Juli 26, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Moving On

Let's move. Goodbye to this place, that we grew attached to.
Let's move. Now to a higher place.
While taking the last box out of the empty room, I looked back for a moment.
Times we cried and laughed, goodbye now.
― BTS, Moving On


Read More
Published Kamis, Juli 26, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Singelillah

Menikah tidak semudah yang kita kira. Setelah akad terucap, masih ada perjuangan yang harus dihadapi. Jangan hanya berpikir untuk hari itu saja, tetapi juga untuk ke depannya seperti apa. Nggak mesti harus terburu-buru. Kalau Allah belum menghendaki, apa boleh buat? Sambil menunggu jodoh datang ke rumah menemui orang tuamu, memantaskan sajalah dirimu terlebih dahulu. Semua ingin pasangan yang baik bukan? Maka dari itu, perbaiki diri. Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Tergantung pada diri kita mau berubah atau tidak.

Jangan tanya kapan, tapi doakan.
― Nabilah Rihadatul'aisy
Read More
Published Kamis, Juli 26, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Ust. Hanan Attaki

"Maaf, ini diantar kemana, ya?"
"Sesuai aplikasi saja, pak. Nanti saya tunggu di pinggir jalan."
"Oh iya, baik. Bapak pakai baju apa ya?"
"Saya perempuan, pakai jaket biru dan kerudung biru."
"Oh maaf mbak, saya kira laki-laki. Maaf, mbak."
"Iya nggak apa-apa, pak."

Lima belas menit kemudian.

"Maaf ya, mbak. Nggak ada fotonya soalnya."
"Iya nggak apa-apa kok, pak."
"Kalau boleh tahu, Hannan itu artinya apa ya, mbak?"
"Artinya penyayang, pak."
"Oh, begitu. Sekali lagi maaf ya mbak, soalnya saya ingatnya sama Ust. Hanan Attaki."
"Iya nggak apa-apa kok, pak. Saya sudah sering dibilang begitu, disama-samain sama Ust. Hanan Attaki."
"Iya, mbak. Semoga sifat dan ilmunya seperti beliau juga ya, mbak."
"Iya, pak. Aamiin, terima kasih doanya, pak."


Rabu, di siang-siang yang cukup menyengat
Read More
Published Kamis, Juli 26, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Brownies

"Kak, mau brownies, nggak?"
"Loh, kamu bawa brownies lagi? Yang kemarin belum habis?"
"Iya belum, aku sengaja bawa dua potong doang buat aku sama kakak."
"Oh gituu, boleh, deh."

"Biar kakak makannya banyak, biar cepet gendut. Sekarang kurus banget."
"Masa sih?"
"Iya, biar pas hari H nggak kekurusan, kak."
"...."
"Tapi nanti kalau udah nikah, pasti jadi gendut. Soalnya bahagia."
"...."
"Soalnya teman-teman aku habis pacaran, langsung pada gendut semua."

"Berarti kamu nggak punya pacar, ya? Hehe."
"Iya, kak. Aku belum bahagia."
"...."


Kemang, cuplikan sebuah percakapan di sore hari
Read More
Published Kamis, Juli 26, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Foolish

How foolish is man! He ruins the present while worrying about the future, but weeps in the future by recalling his past!
― Ali bin Abi Thalib Read More
Published Rabu, Juli 25, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Membandingkan

Awalnya aku sama sekali nggak ada niatan untuk main ke kosan Abi meskipun aku tahu kalau Ummi akan ke Jakarta minggu ini. Tapi sewaktu hari Senin kemarin, tiba-tiba Ummi bilang kalau Abi hari Selasa malam mau mabit, jadi aku disuruh nginep di kos Abi buat nemenin Ummi. Tentunya pas disuruh begitu tanpa sempat banyak-banyak mikir aku pun langsung bilang iya, dan bela-belain naik transjakarta sambil desak-desakan sampai kurang lebih 2 jam lamanya dengan kondisi jalanan yang benar-benar macet saat itu. Soalnya kalau mau bawa motor, nggak dibolehin sama Abi.

***

Singkat cerita, aku baru sampai kos Abi itu sekitar jam 7 kurang sedikit. Padahal aku udah berangkat dari jam setengah 5-an gitu. Dan sampai kos Abi, aku langsung ditodong disuruh makan nasi beserta lauk-pauknya dan juga udah disediain buah banyak-banyak. Duh, jadi terharu gitu kan, wkwk. Apalagi karena memang aku itu belum makan apapun dari pagi karena lagi males, haha.

Dan pas lagi makan gitu, tiba-tiba aku jadi ingat Ais dan Azizah. Makanya hal pertama yang aku tanyain di kosan Abi itu adalah soal kabar Azizah, karena ini minggu pertama Azizah boarding dan juga karena ini pertama kalinya Azizah pisah sama orang tua. Dan dari pembicaraan itu, aku jadi kepikiran kalau model boarding Ais dan Azizah itu ternyata sangat berbeda. Iya, jadi tanpa sadar aku malah jadi membandingkan kondisi keduanya.

Dimulai dari cara pengajarannya yang berbeda. Kalau di boardingnya Ais, proses belajar-mengajar dilakukan seperti di sekolah-sekolah lainnya. Hanya saja memang kegiatannya tentu berbeda, seperti sekolah-sekolah boarding pada umumnya. Namun, dari segi fasilitas dan guru-gurunya tidak jauh berbeda dengan sekolah reguler yang lainnya. Sedangkan Azizah, di sekolahnya benar-benar diajarkan untuk hidup sederhana. Apalagi bangunan sekolahnya yang memang seperti model-model sekolah zaman dahulu, dengan meja dan bangku kayu berwarna cokelat dan papan tulis yang sepertinya masih menggunakan kapur. Dan yang paling mencolok pun, adalah dari segi pakaiannya.

Iya, entah kenapa sewaktu ngelihat foto-foto yang dikirimin oleh ustadzahnya masing-masing, aku melihat perbedaan yang cukup signifikan. Suasana dan pakaian yang dikenakan Ais dan teman-temannya, juga Azizah dan teman-temannya itu seperti berkebalikan. Ais seperti merepresentasikan anak-anak kaya raya yang pakaiannya bagus-bagus serta mahal, sedangkan Azizah seperti merepresentasikan anak-anak sederhana yang pakaiannya pun terlihat sederhana. Ya kalau dilihat dari biaya sekolahnya pun memang berbeda jauh sih, karena sekolahnya Ais memang biayanya cukup mahal. Kan kalau bukan karena Ais dapat beasiswa di sekolah boarding itu, Ais juga sepertinya tidak akan sekolah di situ karena biayanya yang terbilang cukup mahal, hehe.

Tapi selain soal kesederhanaan, ada juga hal-hal lain yang sempat aku banding-bandingkan. Seperti Ais yang kalau waktunya penjemputan pasti bakal bawa banyak baju kotor untuk dicuci di rumah, serta bakal minta banyak jajan untuk dibawa kembali ke asramanya. Sedangkan untuk Azizah, saat penjemputan pertama kemarin, dia tidak mau dibawakan jajan apapun meskipun sudah ditawarin. Dan biasanya Ais itu kalau waktunya kembali ke asrama, dia bakal sedikit malas-malasan dan menunda-nunda. Sedangkan Azizah, kata Ummi kemarin malah bilang begini, "Jijah nggak mau terlambat ah ke asramanya. Jijah belum nyuci baju, belum nyetrika juga." Waduh... Soalnya emang kalau Azizah ini, di boardingnya ada peraturan bahwa setiap penjemputan anak-anak tidak diperbolehkan untuk membawa baju ganti maupun baju kotor, dan diwajibkan untuk menggunakan seragam identitas. Pantes saja...

Dan selain soal penjemputan, ada lagi hal yang berbeda dari keduanya. Sebenarnya aku lupa kalau Ais itu dibatesin untuk boleh bawa uang berapa selama sebulan, tapi kalau untuk Azizah itu maksimal 300 ribu. Dan dulu itu seingatku, Ais meskipun tidak banyak jajan juga sih, tapi di asramanya ada kantin yang memang menyediakan banyak jajanan seperti punya minimarket sendiri. Sedangkan untuk Azizah, kata Ummi kemarin sewaktu penjemputan pertama dia malah bilang begini. "Jijah seminggu uangnya cuma habis 6 ribu, buat beli es pop ice sama makaroni satu." wkwk. Bisa dibayangkan sendiri kan ya bagaimana perbedaan kondisi kantin keduanya.

Pokoknya tadi malam itu aku sama Ummi benar-benar membahas banyak hal, yang juga akhirnya jadi terkesan membanding-bandingkan banyak hal. Tapi Alhamdulillah, dari semua cerita yang Ummi ceritakan malam itu, aku jadi tahu kalau Azizah sudah betah di boardingnya, setelah selama ini hal itu yang menjadi kekhawatiran sendiri bagi aku dan Ummi. Soalnya Azizah ini tipe anak yang pemalu dan susah bergaul (kayak aku, wkwk) yang tapinya terbantahkan karena kata Azizah, dia betah di sana dan teman-temannya juga semuanya enak buat diajak main, nggak ada yang aneh-aneh. Alhamdulillah ya, dek..

Eh, tapi meskipun kondisi boarding keduanya yang seperti berkebalikan itu, aku berharap output yang diberikan oleh keduanya itu tidak akan berbeda jauh. Karena aku berharap, semoga keduanya sama-sama bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya, menjadi hafidzah, memiliki ilmu yang bermanfaat baik untuk dunia dan akhirat, dan bisa menjadi anak yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Ummi dan Abi. Aamiin. Duh, jadi kangen kan, hiks...


Ditulis di sepertiga malam, gara-gara dibangunin sama nyamuk yang entah kenapa tumben-tumbenannya datang dan menganggu tidur nyenyakku. Padahal lagi halangan :(
Read More
Published Selasa, Juli 24, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Tentang Aku

"Tahu nggak? Ada pembaca setianya blog kamu, loh." Kata seorang teman siang itu, saat dia iseng-iseng mengutak-atik laptop yang ada di hadapanku sampai akhirnya terbuka browser yang isinya draft-draft yang belum sempat dipublikasikan.

"Hah? Siapa emangnya?" Tanyaku penasaran.

Tapi temanku itu bukannya menjawab siapanya, tapi malah menjelaskan sesuatu yang kurang lebih begini kalimatnya (soalnya lupa). "Jadi tahu, kalau Hannan itu kadang sedih, kadang senang, kadang marah, dan lain-lain. Jadi kayak Marshanda."

Aku langsung terhenyak. "Lah, aku kayak sakit gitu maksudnya?" Yang meski setelahnya aku menyesal karena sepertinya aku sudah salah merepresentasikan sesuatu.

"Bukan. Maksudnya jadi bermacam-macam emosinya." Jawabnya sambil berlalu meninggalkanku yang masih sedikit kebingungan.

Lalu aku jadi berpikir. Lah, bukannya wajar kalau manusia itu punya banyak emosi ya...
Read More
Published Selasa, Juli 24, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Pinjam Mobil

Siang tadi, ada hal lucu yang terjadi.

Jadi ceritanya temanku mau pinjam mobil ke penyewaan mobil yang dulu sempat aku tawarin. Sebenarnya dulu juga bukan aku yang pinjam, tapi aku minta tolong saudara karena tempat penyewaan itu letaknya di Depok. Dan temanku ini dapat kontaknya pun sebenarnya udah lama banget, sewaktu katanya ada temannya yang minta dicarikan tempat penyewaan mobil yang enak. Terus, tiba-tiba siang tadi, temanku itu mengirimkan pesan yang nggak biasa.

"Saudara kamu namanya siapa, Nan? Tinggalnya dimana? Tahu nama perumahannya nggak? Dulu yang minjemin siapa, Nan?" Dan sederet pertanyaan-pertanyaan yang lainnya. Sampai terakhir dia bilang, "Kok dia tahu kalau aku itu Rinaldy, ya?"

Aku jadi bingung dong ditodong pertanyaan sebanyak itu. Sampai akhirnya tiba-tiba ada sebuah pesan masuk ke whatsapp. "Assalamu'alaikum.. Mbak, maaf kenal sama orang ini? Namanya Rinaldy.." sekaligus dengan foto temanku itu, yang kayaknya diambil dari foto profil whatsapp-nya.

Jujur, waktu dapat pesan seperti itu, aku bukannya bingung tapi malah ketawa. Dan saudaraku juga setelahnya mengirimkan pesan yang intinya bilang kalau mau sewa mobil mending ke kontak yang satunya saja, karena yang ini sepertinya ribet. Karena dibilang begitu, aku pun langsung bilang ke temanku itu kalau mau pinjam mobil ke orang lain saja, ke kontak satunya yang dulu juga pernah aku kasih. Apalagi karena si pemilik penyewaan mobil itu seperti mencurigai temanku. Kan kasihan ya temanku itu, orang niatnya baik-baik malah dikira orang jahat :" wkwk. Tapi ceritanya nggak lucu ya? Hehe. Tapi entah kenapa bagi aku tuh lucuu...

*Dan dari situ aku jadi tahu, kalau temanku yang ini diam-diam nyari penyewaan mobil untuk apa.. wkwk
Read More
Published Selasa, Juli 24, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Semacam

Semacam ingin didengar tanpa harus berteriak.
Semacam ingin dimengerti tanpa harus bercerita.
Semacam ingin dipahami tanpa harus mengungkapkan.

Semacam ingin... entahlah.
Read More
Published Selasa, Juli 24, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Cerita Hari Itu

Hari itu, kemarin, ponselku cukup ramai dengan pesan-pesan yang dikirimkan oleh teman-temanku. Dari yang mendoakan, menagih cerita, sampai ada sedikit yang 'bertanya-tanya'. Satu-dua pesan membuat tertawa, tiga-empat lainnya membuat gusar, dan sisanya membuatku terus berdoa. Tapi diantara itu semua, ada sebuah pesan yang membuatku agaknya bisa sedikit menghela napas lega. Menenangkan.

Pesan itu dikirimkan oleh salah seorang temanku yang sudah terlebih dahulu merasakan apa yang mungkin saat ini sedang aku rasakan. Sejujurnya pesannya tidak terlalu panjang, hanya saja membekas dan ketika dibaca seperti ada banyak sekali makna yang terkandung di dalamnya. Tentu saja aku terharu saat membacanya. Lalu beberapa pesan setelahnya juga berisi nasihat-nasihat dan doa-doa bermakna, yang diakhiri oleh cerita pengalaman dirinya.

Dan saat membaca pesan itu, sejenak aku berpikir. Mungkin kah wajar dengan apa yang aku rasakan saat ini? Mungkin kah masih ada pertanyaan yang belum terjawab? Mungkin kah masih ada masalah yang belum terselesaikan? Rasanya menghitung hari semakin memberatkan. Rasanya seperti ada kekhawatiran dan keraguan yang masih sesekali terlintas dan memenuhi kepala. Rasanya seperti tidak percaya dan tak tahu harus berbuat apa, hingga akhirnya aku pun memberanikan untuk bertanya.

"Tapi X, aku salah nggak?"

Pertanyaan singkat yang rupanya memberikan jawaban yang begitu panjang. Tapi sayangnya, dari semua jawaban dan saran yang diberikan, rasanya aku tidak bisa melakukannya. Rasanya sudah terlambat untuk melakukan itu, dan seperti sudah bukan lagi masanya. Lalu aku berdoa, dan berkata padanya bahwa mungkin doa adalah jawaban terbaik dari apa yang telah terjadi. Dan temanku itupun mengakhiri cerita malam itu dengan sebuah kalimat.

"Yasudah, kamu yang lebih tahu apa yang terbaik untukmu. Doakan saja, toh bukan kamu yang lebih dulu berbelok, tetapi dia, bukan? Mimpi itu, cita-cita itu, justru lebih dulu dimusnahkan olehnya sebelum kamu. Makanya, untuk hal yang satu ini, kamu harus belajar untuk membuang jauh-jauh perasaan tidak enakan dan rasa bersalahmu itu. Karena justru seharusnya yang merasakan hal itu adalah dia, bukan kamu."

Yang membuatku terhenti untuk berpikir banyak-banyak.
Read More
Published Senin, Juli 23, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Perjalanan Itu

Ada banyak hal yang mungkin, menjadi pemikiran-pemikiran beberapa hari belakangan ini. Soal ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran-kekhawatiran yang mungkin sedikit berlebihan. Entahlah. Rasanya ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, masalah yang belum terselesaikan, dan rahasia yang belum terungkapkan.

Tapi perjalanan panjang itu, seolah membuka seluruh tabir yang ada. Semua seperti dijelaskan secara terperinci dan dengan penjelasan yang sejelas-jelasnya. Seolah kekhawatiran dan ketakutan yang selama ini menghantui tak lagi ada gunanya. Meski sesekali aku seperti menyesal dan tidak tahu mau merespon seperti apa, tetapi rasanya aku cukup lega. Karena semua sepertinya berakhir dengan cara baik-baik dan tanpa ada lagi masalah. Karena sepertinya, keputusan ini tidak memberatkan salah satu pihak. Tidak ada yang tersakiti ataupun menyakiti, bukan? Cerita panjang yang akhirnya berani diungkapkan malam itu menjadi jawaban atas semua pertanyaan yang ada.

Ya, aku bersyukur. Karena Insya Allah ini adalah yang terbaik untuk kita semua. Kekhawatiran itu, ketakutan itu, dan segala masalah maupun apa saja yang dulu sempat terjadi, biarlah menjadi pembelajaran tanpa harus disesali. Mungkin bisa menjadi hal yang bisa sesekali kita tengok sebagai pengingat di masa depan, agar tidak lagi terjerumus dalam kesalahan yang sama. Atau menjadi hal yang sepertinya tidak perlu lagi untuk dikenang.

Dan semoga aku, kamu, kalian, bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Aku mendoakan yang terbaik untuk kalian. Insya Allah.


Jakarta, 23 Juli 2018
Bismillah.
Read More
Published Jumat, Juli 20, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Dia dan Mereka

Ada yang baru dari suasana kantor di akhir-akhir minggu ini.

Yang biasanya aku selalu menjadi perempuan sendiri di divisiku, kini aku sudah memiliki dua orang teman yang bisa diajak berbincang-bincang di luar soal pekerjaan. Yang satunya memang tidak begitu banyak berinteraksi denganku karena memang jabatannya yang cukup tinggi di kantor membuatnya sering terlihat sibuk dan mondar-mandir ke sana kemari. Tetapi, ia tidak pernah absen untuk menyapa dan memberikan senyuman hangatnya kepadaku di setiap kedua pandangan kami dengan tidak sengaja bertemu. Dan yang satunya lagi, adalah teman yang selama lima hari belakangan ini selalu bersamaku di setiap kegiatan kantor.

Awalnya meja kerja kami―aku dan teman lima hariku―terpisah sangat jauh, sampai-sampai aku baru berkenalan dengannya di hari kedua ia masuk kerja karena saking tidak pernah adanya interaksi yang mungkin terjadi di antara kami berdua saat itu. Dan tentunya beberapa orang yang sudah mengenalku tahu pasti, kalau aku itu paling tidak bisa berinteraksi dengan orang yang baru. Aku pasti jadi posisi yang lebih banyak diamnya dan lebih banyak ikutannya daripada jadi orang yang memimpin arah pembicaraan. Namun, entah mengapa, ada hal yang berbeda dari gadis yang kini duduknya tepat di depan meja kerjaku saat ini.

Gadis itu usianya lebih muda dariku, sekitar dua tahun lebih muda dan baru akan wisuda di bulan agustus besok. Gadis yang rambutnya selalu dikucir ke belakang dengan kacamatanya yang ukurannya hampir memenuhi setengah wajahnya yang cukup kecil, yang memiliki banyak hal-hal yang cukup unik di dalam dirinya. Mulai dari sifat dan sikapnya yang sangat ekspresif dan selalu memberikan reaksi yang tidak terlihat seperti dibuat-buat, sampai dengan gaya bicaranya yang benar-benar seperti anak kecil, yang sekali lagi benar-benar tidak terlihat seperti dibuat-buat dan malah terkesan lucu. Bahkan ketika berbicara dengannya, aku yang biasanya selama ini selalu (berusaha) menjadi pendengar yang baik pun merasa sedikit senang karena kali ini bisa merasakan bercerita yang direspon dengan baik oleh lawan bicaraku.

Bahkan ada beberapa hal dari diri kami yang tanpa disengaja ternyata begitu mirip. Dari soal tidak suka makan di smoking area dan lebih suka sholat di masjid, sampai soal kesukaan akan dunia kpop dan kdrama, dan hal-hal yang mendekati soal keperibadian dan sifat-sifat yang lainnya. Dan berbicara dengan dia itu seperti sedang berbicara dengan adik sendiri karena cara bicara dan gerak-geriknya yang sedikit manja dan kekanak-kanakan. Bahkan karena wajahnya terlihat imut dan aku akui memang dia ini cantik, ia pun jadi sering digangguin oleh teman-teman di divisi IT yang lain yang memang isinya laki-laki, yang kalau sedang digangguin begitu tuh dia selalu menghampiriku dan seperti meminta perlindungan begitu. Pokoknya dia itu benar-benar manja dan benar-benar terasa seperti adikku sendiri, yang padahal kami ini baru menjadi rekan kerja lima hari belakangan ini.

Iya, jadi gadis itu sempurna membuatku berubah dalam hal soal interaksi dengan orang baru. Selama lima hari kebelakang, aku justru jadi sering kemana-mana dengan gadis itu. Mulai dari makan siang, sholat di masjid, rapat, sampai soal janjian pulang kerja. Rasanya banyak hal yang membuatku lebih banyak bercerita daripada mendengarkan. Dan dia ini juga selalu membuntutiku. Pokoknya setiap misalkan mau rapat atau kumpul apa, dia selalu meminta untuk duduk di sebelahku dan tidak mau jauh-jauh dariku. Bahkan ketika ia tahu soal banyaknya orang yang resign di bulan-bulan sebelumnya, ia sampai menunjukkan wajahnya yang sedikit memelas dan memohon kepadaku agar aku juga tidak ikutan resign di bulan-bulan berikutnya. Duh...

Dan tidak hanya soal tentang gadis itu yang berbeda, tetapi juga soal anak-anak divisi IT yang baru dua-tiga minggu ini masuk ke kantor. Iya, jadi ada sekitar empat orang yang baru bergabung di tempat kerjaku yang sekarang. Sepertinya usia mereka juga tidak begitu jauh dariku, atau bahkan mungkin sebenarnya lebih tua satu-dua tahun dariku. Tapi entah mengapa, mereka ini sifatnya justru terlihat seperti dua-tiga tahun lebih muda dariku. Dan dua dari empat orang itu rupanya suka dengan jkt48 sampai-sampai mengajakku untuk menonton konsernya di akhir bulan ini (wkwk). Tapi cocok sih, soalnya gadis yang aku ceritakan di paragraf-paragraf sebelumnya juga suka dengan group ini dan sepertinya benar-benar hafal soal member-member yang masih aktif dan sudah graduation, yang ketika mereka membahas hal-hal ini tuh aku jadi cuma bisa senyum-senyum saja karena bingung mau merespon apa. Soalnya aku ini sama sekali tidak paham, tapi selalu diajak ikutan berbincang-bincang soal hal itu, dan aku juga tidak pernah bisa untuk tidak ikutan merespon ketika diajak ngobrol seperti itu.

Keempat orang ini juga memiliki sifat uniknya masing-masing. Dari yang sukanya ngejayus tapi entah mengapa bagiku terdengar selalu lucu (di setiap kejayusannya hanya aku dan gadis itu yang tertawa, sedangkan yang lainnya justru bingung dan malah mengejeknya karena tidak lucu), lalu yang sangat menyukai anime sampai tahu betul anime apa yang sedang hits dan bagus saat itu, terus yang berbicara kepadaku itu selalu terdengar sopan dan menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar, alias baku banget wkwk; sampai yang sukanya menambahkan kata 'tong' di setiap akhir kalimatnya (yang ini aku nggak ngerti esensinya untuk apa, haha). Pokoknya mereka-mereka ini benar-benar membuat hari-hari yang biasanya cuma diisi sama orang-orang yang selalu fokus dan sibuk dengan urusannya masing-masing ketika sedang ngoding menjadi lebih berwarna dan ramai karena mereka ini benar-benar tidak pernah bisa diam ketika bekerja, alias ngomong terus nggak berhenti-berhenti.

Dan tentu saja, dia dan mereka ini, membuat hari-hariku menjadi semakin terasa lebih berat. Tapi bukan soal berat untuk menjalaninya, melainkan soal berat untuk melepaskannya. Rasanya nggak sanggup kalau harus resign dekat-dekat ini. Dan seperti status yang ditulis oleh seorang temanku yang juga kemarin-kemarin mau resign tapi tidak jadi, "I really can't move. Good place, good people, good..." Lupa apa statusnya, udah dihapus hehehe. Intinya emang benar-benar kerasa kayak nggak mau pindah dan nggak mau berpisah. Rasanya aku sudah cukup nyaman berada di lingkungan ini, meskipun dulu-dulu kayak pengen banget pindah dan pisah.

Kenapa ya, pas ada momen yang tepat untuk resign, malah suasananya berubah 180 derajat. Kan, jadi sedih... :"
Read More
Published Jumat, Juli 20, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Obrolan Panjang dan Segelas Kopi Susu

Aku jarang sekali mau mengiyakan kalau diajak kumpul-kumpul yang hanya sekedar mengobrol sambil meminum segelas kopi. Entah itu bersama dengan teman-teman lama ataupun teman yang baru beberapa saat dikenal. Aku yang memang jarang sekali mengobrol dengan orang lain dan juga tidak suka―lebih tepatnya tidak bisa―meminum kopi pun selalu memberikan berbagai macam alasan yang bisa mendukung penolakan ajakan itu. Bahkan saking seringnya aku menolak, sampai-sampai seorang temanku pernah sengaja membelikan aku segelas es teh susu hanya untuk agar aku mau diajak kumpul sejenak di sebuah warung kopi, yang mau nggak mau pun aku harus beranjak ke warung itu karena ada rasa tidak enaknya karena sudah dibelikan minuman yang harganya tidak begitu murah.

Agak sedikit kesal sih karena sampai dipaksa begitu. Apalagi karena aku juga tidak begitu suka duduk-duduk terlalu lama dengan orang yang belum begitu dekat denganku. Rasanya sedikit canggung dan bingung mau bersikap seperti apa. Makanya seringnya aku selalu memainkan ponselku meskipun hanya untuk membuka-tutup aplikasi chat atau sosial media yang sebenarnya tidak ada hal-hal yang bisa dilakukan di situ, yang memang hanya dilakukan untuk menghindari adanya kecanggungan yang mungkin timbul.

***

Tapi, entah mengapa hari ini ada yang berbeda denganku. Ya, entah mengapa hari ini aku mau-mau saja ketika diajak ngobrol-ngobrol dengan seorang temanku, yang notabenenya tidak begitu dekat denganku, di salah satu warung kopi yang letaknya tidak jauh dari kantor.

Aku tidak akan menjelaskan bagaimana detailnya, tetapi hari ini entah mengapa rasanya aku ingin bercerita banyak. Terkadang kita memang butuh seseorang untuk mendengarkan ya, makanya malam tadi yang biasanya aku hanya menjadi pendengar curhatan-curhatan orang lain, kali ini aku justru yang banyak bercerita. Dari soal unek-unek yang dirasakan selama ini sampai hal-hal yang terasa membahagiakan. Rasanya agak sedikit lega setelah selesai bercerita seperti itu, meskipun aku agak sedikit takut kalau-kalau malah terkesan seperti sedang mengeluh. Tapi entah mengapa, setelahnya aku seperti habis membuang kepenatan yang selama ini memenuhi kepala dan sedikit menyesakkan dada. Padahal, lawan bicaraku sebenarnya bukan orang yang begitu dekat denganku.

Aku jadi ingat soal perkataan salah seorang temanku yang bilang kalau seharusnya aku tidak boleh mudah bercerita hal-hal yang sifatnya pribadi ke orang lain. Katanya, biar orang tahu aku dari apa yang mereka lihat saja, tidak perlu sampai sedetail-detailnya. Kecuali kalau orang itu memang sudah dekat denganku, begitu tambahnya. Tapi ya begitulah, malam tadi entah kenapa rasanya hal itu jadi seperti terulang kembali dan aku memang tidak bisa menahan untuk tidak bercerita kepada lawan bicaraku itu. Bahkan saking semangatnya bercerita, aku sampai memesan segelas kopi susu dan pulang sedikit agak malam dari biasanya. Bukan karena memang ingin pulang malam, tetapi karena memang saat bercerita begitu waktu benar-benar terasa berputar lebih cepat dari biasanya karena terlalu asyik mengobrol tentang banyak hal.

Dan tentu saja akan selalu ada akibat di setiap sebab yang kita buat. Karena memaksakan diri untuk meminum kopi dan pulang sedikit larut malam, aku jadi tidak kebagian tempat parkir dan harus menggeser-geserkan sendiri motor-motor besar yang terparkir di halaman kosan itu, sekaligus jadi tidak bisa tidur sampai jam segini. Duh...
Read More
Published Jumat, Juli 20, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Berantem

Siang itu, aku berjalan ke masjid lebih awal dari biasanya.

Rasanya berjam-jam duduk di depan meja kerja terasa lebih melelahkan dari hari-hari sebelumnya. Badanku sampai seperti mau remuk (ini agak lebay, sih). Tapi kalau mau direpresentasikan dengan sesuatu ya memang seperti mau remuk, pegal-pegal begitu. Makanya meskipun cuaca di luar sana terasa sangat panas karena matahari sedang bersinar dengan terik-teriknya, aku tetap memutuskan untuk beranjak dan berjalan-jalan sebentar untuk meregangkan otot-otot yang sedikit menegang.

Tapi tentu saja meski niatnya untuk berjalan-jalan sebentar, karena faktor suhu dunia yang sedang panas-panasnya di daerah kantor saat itu, aku pun langsung berjalan ke arah masjid dengan sedikit terburu-buru. Dan saat itu suasana masjid juga tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Cukup ramai dengan beberapa jamaah laki-laki yang didominasi dengan bapak-bapak dan remaja-remaja yang mulai menginjak usia dewasa, ditambah dua-tiga anak laki-laki yang suka bermain-main air dan baru akan berhenti kalau sudah diteriaki oleh seorang kakek yang masih terlihat sehat-bugar, tidak rapuh sedikitpun. Namun, di suasana yang tidak begitu berbeda dari hari-hari sebelumnya itu, ada satu hal yang menarik perhatianku.

Jadi sewaktu aku membuka pintu kayu pembatas tempat wudhu wanita saat itu, aku melihat dua orang anak perempuan yang sedang berdiri tepat di depan pintu dan berbicara dengan nada yang cukup keras, seperti sedang meneriaki seseorang. Awalnya aku tidak begitu paham dengan apa yang mereka lakukan, sampai akhirnya seorang anak perempuan tiba-tiba keluar dari salah satu kamar mandi yang ada di situ saat aku sedang berjalan tepat di depan kamar mandi yang habis dipakainya. Seorang perempuan yang ukuran tubuhnya paling kecil diantara dua orang lainnya, yang saat itu menunjukkan wajah yang agak sedikit terlihat lelah.

"Cepetan dong, udah mau mulai sholatnya, tahu!" Teriak salah seorang perempuan yang sedang berdiri di depan pintu tadi. Sejujurnya aku agak sedikit kaget ketika mendengar teriakan itu, sehingga aku refleks menoleh ke arah anak perempuan yang diteriaki itu. Dan saat aku menoleh, entah mengapa anak perempuan itu justru tersenyum kepadaku, yang membuat aku agak sedikit tergugup sambil cepat-cepat berusaha membalas senyumannya itu.

"Buruan, ih!" Teriak anak perempuan yang lainnya. Untuk teriakan yang kali ini aku kembali menoleh, tepat ketika aku telah menyelesaikan wudhuku, tetapi ke arah anak perempuan yang berteriak itu. Sekilas aku melihat guratan-guratan wajah yang tampak seperti sedang marah. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati sih, seperti kalau memang tidak ingin tertinggal sholat berjamaah, kenapa harus berteriak-teriak seperti itu? Kenapa tidak langsung masuk ke dalam masjid saja? Kenapa harus memburu-burui temannya itu? Yang tapi tentu saja saat itu aku tidak bertanya langsung dan hanya menyimpannya sendiri dalam hati. Karena selain tidak tahu bagaimana cara menanyakannya tanpa bermaksud memarahi atau menggurui, juga karena aku tidak ingin tertinggal sholat dhuhur berjamaah saat itu. Makanya, setelah selesai berwudhu, aku pun langsung agak sedikit sok kenal dan sok dekat dengan ketiga anak perempuan itu dengan mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam masjid.

Namun kejadian teriak-meneriaki itu tidak berhenti sampai di situ saja. Sebenarnya aku tidak begitu mendengar dengan apa yang mereka bicarakan, tetapi ketika di menit-menit akhir mendekati iqomah, tiba-tiba saja anak perempuan yang sedari tadi dimarah-marahi itu langsung beranjak dari tempat duduknya dan menyembunyikan tubuhnya di sampingku. Saat itu tentu saja aku menjadi sedikit bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, karena kebetulan jamaah perempuan saat itu hanya terdiri dari kami berempat. Dan tepat setelah anak perempuan itu memutuskan untuk bersembunyi, salah seorang anak perempuan yang lainnya langsung ikutan beranjak ke sampingku dan mulai mengucapkan beberapa kalimat yang terdengar seperti sedang menuduh.

Sejujurnya saat itu, dan melihat hal-hal yang seperti itu, aku jadi seperti sedang diingatkan kembali soal kejadian-kejadian di masa lalu yang mungkin memang hanya satu-dua temanku yang tahu soal ini, sih. Makanya sewaktu melihat hal-hal yang begitu, aku pun memutuskan untuk mencoba melerai dan mengajak mereka bertiga untuk segera bersiap-siap untuk sholat, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Rasanya entah mengapa melihat hal-hal begitu di dalam masjid itu semakin membuatku merasa sedih dan agak sedikit takut. Tapi mungkin karena anak perempuan di sampingku sudah cukup lelah dengan perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh kedua temannya itu, makanya ia pun langsung berlari keluar tanpa mengucapkan sepatah katapun, meninggalkan kami bertiga yang memandangi punggungnya yang semakin menjauh.

Duh, dek. Rasanya saat itu aku ingin ikut berlari dan langsung memelukmu...

Tentu saja aku merasa agak sedikit sedih, atau mungkin justru banyak sedihnya, ya? Tapi memang rasanya aku seperti benar-benar ingin memeluk anak perempuan yang berlari itu. Dan awalnya aku kira anak perempuan itu memutuskan untuk pulang dan tidak jadi sholat berjamaah di masjid, tetapi ternyata ia justru kembali lagi ke masjid di pertengahan gitu. Bahkan ketika kedua temannya itu selesai sholat langsung berdiri dan melipat mukenah yang dikenakannya, anak perempuan itu justru menyempatkan diri untuk berdoa dan malah bersalaman sambil mencium tanganku setelahnya.

Dan tentu saja aku tahu, di balik senyumnya saat berpamitan untuk pulang terlebih dahulu saat itu, ada banyak kesedihan yang terpancar dari kedua bola matanya.


Masjid Al Ibadah Kemang, yang aku lupa kejadian ini terjadi di hari apa,
tapi, aku rindu kamu, dek. Kenapa sekarang sudah jarang terlihat di masjid?
Read More
Published Rabu, Juli 18, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Setelah dan Sekarang

Saya selalu (berusaha) menyambungkan dua buah kata dalam berkehidupan selama ini. Kata 'setelah' yang nantinya harus diikuti dengan kata 'sekarang', dengan maksud bahwa kalau kata 'setelah' telah menjadi goals dan tercapai, maka harus mencari goals lain untuk menyempurnakan kata 'sekarang'. Dan hal itu terus dilakukan berulang-ulang, karena selain sebagai sarana untuk memperbanyak ilmu, hal tersebut juga bisa dijadikan sebagai sarana untuk berlatih menjadi pribadi yang produktif dan proaktif akan hal-hal yang baru.

Hehe. Tidak jelas memang kalimat random di atas itu. Intinya sih saya cuma mau bilang, setelah sebelumnya tertarik dan berusaha mempelajari tentang Lupus dan Bipolar, sekarang saya jadi tertarik dan ingin mempelajari tentang Leukimia dan penyebab adanya kondisi Lambung Bocor.

Semoga ada banyak literatur yang bisa dijadikan referensi. Aamiin.


Catatan ini ditulis di sela-sela aktivitas yang mulai terasa menyibukkan,
di saat sedang berat-beratnya karena sedang kedatangan tamu,
jadinya pucatlemastakberdaya, hiks.
Hannan harus kuat, ya :" Kan sudah biasa...
Read More
Published Selasa, Juli 17, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Udah biasa ngerasain hal kayak gini kan? Jadi, sabar aja ya, Nan... Read More
Published Senin, Juli 16, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Akhirnya....

Akhirnya, setelah 4 bulan lamanya ku menyendiri,
hari ini aku udah punya teman untuk kemana-mana lagi.
Udah bisa makan siang di hari kerja,
dan jalan ke masjid sambil mengobrol-ngobrol ria.

Berangkat pagi udah nggak jadi masalah,
gabut seharian pun jadi semakin menyenangkan.
Yang biasanya 8 jam terasa seperti 24 jam,
kali ini cuma kerasa kayak 2 jam.

Lebay, sih.
Tapi intinya,
sekarang Hannan udah nggak sendirian lagi.
Hehehehe.
Read More
Published Minggu, Juli 15, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Sandglass ― Hourglass

Bagian terberat dari sebuah perjalanan adalah perpisahan. Adanya keharusan untuk meninggalkan masa lalu yang tiada di masa depan walaupun raga, hati dan keadaan tak sejalan, tak pernah terasa mudah. Perpisahan bukan berarti berhenti untuk menyatukan. Semua pasti berubah, mau tidak mau. Semua pasti berakhir, siap tidak siap. Yang pergi akan tetap pergi, walaupun kita telah menjaganya dengan begitu kuat. Dan yang datang akan tetap datang, walaupun kita tidak pernah mengharapkan kedatangannya.

Bagaimana bisa kita takut dengan mengakhiri, sedangkan kita berani untuk mengawali? Bagaimana bisa kita takut dengan perpisahan, sedangkan kita berani untuk saling memiliki? Belajarlah dari semua yang telah terjadi dan mengertilah. Bahwa tak semua jawaban adalah tentang untuk selalu bertahan, melainkan juga tentang melepaskan. Melepaskan genggaman untuk sebuah kesempatan baru di masa depan. Maka, teruslah melangkah meskipun itu berat. Buanglah semua bagian sedih dan menyakitkan dalam hidup untuk menyisakan semua bagian yang terindah. Karena senja mengajari kita untuk menerima sebuah perpisahan dengan jaminan pertemuan yang hangat pada esok hari.

Dan untuk menyempurnakan narasi di atas, berikut video dari sebuah lagu yang sedang saya suka.


Even though you listened to this song without lyrics, it still feel sad.
 *
I remember our first moment. When it seemed like it would stay forever. Your unchanged gaze in front of the coming farewell, even I couldn’t realize it. If I let go of your hand first and say that I have to go, how would you feel when I say I’ll come back again? If I were you, I wouldn’t believe it. Though the sand may fall down and our time may run out. Though time can’t be turned back, it’s okay. Though the sand may fall down and the hourglass may stop, our memories that we’ve made together will be with you, by your side.

I don’t want to leave. I don’t want to lose. The time continues to pass by and we only grow further apart. Even if I hold onto the second hand, the end will eventually come. But as the last station is also the first station, our destiny is that we’ll meet again. Thank you so much. Memories about you will only make me smile. I’ll try to live well. I’ll become a better person and return to you.

When I see you again. When I flip the hourglass again, and we have our new start. We’ll be together then.

― Wanna One (The Heal), Sandglas
Read More
Published Sabtu, Juli 14, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Rindu Bandung

Foto diambil dari google karena waktu itu nggak sempat ke sini (cuma sekedar lewat).
*
Banyak hal yang aku rindukan dari tempat ini. Dari suasana kampusnya, teman-teman seperjuangan dan teman-teman bermainnya, lingkungannya, dan banyak hal lainnya. Rasanya dua hari di Bandung itu belum cukup untuk melepaskan rindu yang ada. Tapi biarlah aku membagikan sedikitnya momen-momen yang sempat terekam, meski tidak semuanya, ya.
Jadi ingat dulu-dulu, sewaktu tiap pagi atau sore menyempatkan diri untuk jalan-jalan di tempat ini. Atau kadang-kadang ngerjain tugas kelompok di saung-saung yang banyak nyamuk dan kucingnya. Dua gedung, A dan B, yang menjadi tempat menuntut ilmu selama ini, yang harus lari-lari kalau lagi beruntung dapat kelas yang berjauh-jauhan. Duh, nggak kebayang kalau sekarang gimana. Naik-turun di gedung yang lantainya cuma 3 tingkat aja udah ngos-ngosan. Apalagi yang sekarang udah ada gedung sepuluh lantainya, heuu.
Bahkan aku baru tahu kalau punclut sekarang bukan cuma tempat makan dengan suasana pegunungan (atau perbukitan ya?) aja. Ternyata udah banyak wahana dan spot menariknya. Kalau dulu ke punclut cuma buat duduk-duduk di saung sambil mainan satu-dua hal, terus makannya model makanan yang biasa ada di angkringan gitu, sekarang makannya udah banyak yang middle sampai high class. Duh ngomongin soal angkringan, jadi inget sama angkringan ITB. Sayang kemarin nggak sempat ke situ, hiks. Btw, foto di atas emang sengaja difokusin ke lampunya, bukan orangnya.
Dan juga sekarang punclut udah ada tempat kayak gambar di atas. Mirip istana-istana kerajaan gitu. Sayangnya waktu mau naik ke situ ternyata udah tutup karena kita datangnya kemalaman, jadinya nggak bisa menikmati pemandangan dari atas situ. Padahal kata temanku yang udah pernah ke situ, di sana itu lebih bagus pemandangannya daripada tempat yang kami datangi, yang waktu itu masih buka sendiri. Makanannya pun unik-unik, dan waktu itu kami berempat beli makanan yang sama tapi beda di bagian bumbu yang disiram ke nasinya aja. Dan itu lucu, karena satu temanku heboh sendiri waktu makanannya datang, soalnya takut telornya gosong katanya.
Dan besoknya sewaktu jalan-jalan lagi ke sepanjang jalan Riau, aku nemuin lampu-lampu ini di salah satu factory outlet yang ada di sana. Di saat temanku sibuk nyari baju dan jaket, aku malah sibuk nyari pemandangan yang menarik. Aku jadi ingat juga sewaktu abis dari sini dan kami mau nyari masjid terdekat dan malah nemunya masjid yang ada di dalam Kodam III Bandung. Waktu itu sempat ragu karena yang jaga gerbangnya serem, kan bawa senapan gitu. Tapi sewaktu memberanikan diri untuk bertanya malah sadar kalau udah suudzon karena mas-masnya justru ramah dan baik. Duh.
Dan yang terakhir emang nggak ada hubungannya sama soal rindu hal-hal yang ada di Bandung sih. Tapi sewaktu lagi main di kos temanku, aku yang takut kucing tiba-tiba didatengin sama tiga kucing ini. Dan teman-temanku itu nggak ada yang mau nolongin, alias cuma ketawa-ketawa aja sambil ngeliatin aku yang duduknya agak gelisah gitu. Tapi sewaktu ngelihat kucing-kucing itu cuma berbaring dan nggak ngapa-ngapain, akunya jadi tertarik aja gitu buat ngambil momen itu dan senang sendiri, sampai temanku bilang kalau kucing itu gini-gitu biar aku nggak takut lagi. Tapi aku mengakui kok, kucing itu emang lucu. Cuma aku emang takut aja, hehe.

Dan ya udah, nggak kerasa waktu begitu cepat berlalu. Sekarang kalau mau ke Bandung harus nunggu momen yang tepat, nggak bisa sesering dulu. Ah, rasanya banyak banget hal yang bisa dilakuin di Bandung, juga banyak banget hal yang bikin rindu sama kota ini. Kayak soal jalan-jalannya, main di Braganya, nonton film yang isinya anak lab sebioskop, camp-nya, makrabnya, dan banyak hal lainnya. Hal-hal yang begini memang cepat berlalunya ya. Dari yang setiap hari kayak bosen ketemu orang dan hal yang itu-itu aja, sampai sekarang yang kalau rindu harus ditahan-tahan. Jadi sedih akutuh, heuuu.



Sabtu dan Minggu, 7 dan 8 Juli 2018.
Kira-kira aku masih bisa main sama teman-teman lagi nggak ya :( 
Read More
Published Sabtu, Juli 14, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Cerita Jalan-Jalan: Naik Motor

Selama beberapa bulan tinggal di kota metropolitan―Jakartaini, aku kemana-mana tidak pernah sendiri. Ke kosan teman, main dengan teman-teman, ke luar kota, atau apapun itu selalu aku lakukan bersama satu-dua orang lebih temanku.

Mungkin karena aku terlihat mudah bingung atau terlihat tidak bisa melakukan apa-apanya sendiri, makanya seringnya teman-temanku tidak mempercayaiku untuk berpergian sendirian di kota ini. Sifatku yang sangat bergantung dengan orang terdekat serta tidak bisa mandiri membuat mereka selalu menawarkan diri untuk menemaniku setiap kali mereka tahu bahwa aku akan berpergian jauh. Padahal aku tidak pernah meminta, namun mereka seolah-olah tahu bahwa aku sebenarnya tidak berani kemana-mana sendiri, sehingga tanpa aku minta pun seringnya mereka langsung berinisiatif untuk menanyakan atau langsung menawari untuk mengantarku. Terkadang aku jadi terharu sih, sekaligus senang meski seringnya aku agak jengah karena kadang-kadang mereka seperti memaksa.

Tapi, tentu saja aku tahu alasan mengapa mereka seringnya memaksa seperti itu. Apalagi tidak semua orang memiliki teman-teman yang begitu peduli seperti teman-temanku ini. Namun sebaik apapun sikap yang mereka tunjukkan, tidak mungkin aku terus-terusan bergantung dengan mereka, kan? Hal-hal yang begini tentunya memiliki peraturan-peraturan dan batasan-batasan yang harus ditaati. Maka dalam beberapa bulan terakhir, aku mulai memberanikan diri untuk pergi kemana-mana sendiri.

***

Dulu, ketika awal-awal tinggal di kota ini, kalau aku ingin pulang ke kontrakan Abi biasanya aku selalu diantar oleh temanku yang rumahnya sejalur denganku. Jadi aku akan diantar ke tempat tujuan, lalu setelahnya temanku itu pulang ke rumahnya dengan membawa motorku. Begitu pula ketika akan kembali ke kosanku, maka temanku itu akan kembali menjemputku. Pun ketika aku ingin pulang ke Purwokerto, maka temanku ini akan mengantarku ke stasiun dan menjemputku beberapa hari setelahnya. Pokoknya, aku selalu diantar-jemput oleh temanku yang satu ini. Bahkan ketika temanku ini sudah pindah ke kantor yang jauh dari daerah kantorku, ia tetap menawarkan dan menyempatkan diri untuk mengantar-jemput. Padahal, jarak kantornya dengan stasiun itu menurut aplikasi maps hampir 27 km.

Dan kalau temanku ini sedang tidak bisa mengantar-jemput, maka aku akan menggunakan ojek online sebagai kendaraannya karena saking tidak beraninya aku kemana-mana sendiri. Padahal, temanku itu menyarankan agar aku menggunakan transjakarta saja karena selain lebih murah, tentunya menggunakan bus itu jauh lebih aman. Namun, rasanya kebiasaanku yang sangat bergantung dengan orang lain itu sudah terlalu mengakar dalam diriku (alesan sih, wkwk) sehingga aku terus-terusan lebih memilih memesan ojek online yang terkadang biayanya hampir mencapai 50 ribu. Bahkan suatu ketika aku pernah berpergian dari Jakarta ke Bandung menggunakan bus dengan seorang temanku yang harga tiketnya kalau tidak salah berkisar antara 40-45 ribu, namun dibarengi dengan harga ongkos ojek online yang juga tidak terlalu berbeda. Hampir 30 ribu sendiri untuk sekali jalan (hiks).

Terkadang aku agak sedih dan merasa sayang juga sih kalau harus mengeluarkan biaya sampai sebesar itu disaat ada kendaraan lain yang jauh lebih murah daripada itu. Awalnya aku tidak begitu peduli, alias meskipun setelahnya merasa sedih tapi besok-besoknya aku akan tetap menggunakan ojek online kalau ingin berpergian kemana-mana. Namun di suatu ketika yang aku lupa tepatnya hari apa, di hari dimana aku mengantar Ummi dan adik-adikku ke stasiun bersama Abi, Abi dan Ummi menyuruhku untuk menggunakan transjakarta saja dari stasiun ke kosan daripada harus naik ojek online. Soalnya Abi harus buru-buru ke kantor dan memang jalanan sewaktu itu sedang macet-macetnya. Awalnya aku bilang kalau aku tidak begitu tahu jalurnya dan malas kalau harus tanya-tanya. Tapi mungkin karena Abi juga tidak tega dan sedikit memaksa, serta ketika aku melihat ongkosnya pun kali itu lebih mahal dari biasanya, maka akhirnya aku pun luluh dan nurut.

Tentunya Abi juga paham seperti teman-temanku. Jauh lebih paham. Makanya waktu itu, aku sampai dibela-belain diantar ke halte sekaligus Abi yang bertanya ke petugasnya agar aku tidak salah naik koridor bus. Abi sampai mewanti-wanti banget soal di halte mana aku harus turun dan transit. Bahkan setiap beberapa menit sekali Abi akan selalu menanyakan aku sudah sampai mana, setelah sebelumnya ikut menungguiku di halte sampai aku benar-benar naik ke bus dengan koridor yang benar. Awalnya aku agak sedikit takut, bolak-balik mengecek aplikasi traffi untuk memastikan rute karena petugasnya bilang kalau aku harus dua kali transit. Aplikasi traffi ini pun sebenarnya rekomendasi dari seorang temanku saat dulu awal-awal aku baru tinggal di Jakarta, saat ia tahu bahwa daerahku paling jauh sendiri dibandingkan dengan yang lainnya. Katanya biar aku nggak nyasar (padahal kan, ngelihat petunjuk dari aplikasi itu awal-awal juga susah, hiks).

Tapi setelah kurang lebih setengah jam lamanya aku berada di perjalanan, entah mengapa menggunakan transjakarta saat itu terasa jauh lebih menyenangkan. Benar-benar jauh lebih menyenangkan daripada saat naik transjakarta bareng temanku yang rutenya hampir mirip-mirip dengan rute yang ini, walaupun ada sedikit miskomunikasi karena temanku ngeyel maunya ke rute blok m sedangkan aku maunya ke ragunan. Tapi waktu itu aku berpikir, daripada terus-terusan menggunakan ojek online yang ongkosnya mahal seperti itu, kan lebih baik kalau membiasakan diri menggunakan kendaraan umum lainnya, kan. Makanya setelah pengalaman perjalanan menggunakan transjakarta waktu itu, aku pun memutuskan untuk terus menggunakan kendaraan umum dan berniat untuk men-explore sendiri rute-rute yang lain. Tapi kalau untuk commuterline (krl) memang belum berani sih, hehe. Untuk kendaraan yang ini aku tetap pada pendirianku kalau mau naik itu, harus sama orang lain (wkwk).

Intinya waktu itu, aku kemana-mana sendiri. Ke kontrakan―sekarang sudah pindah ke kosan―Abi, ke blok m, ke senayan, dan ke tempat-tempat lainnya yang bisa dijangkau oleh transjakarta. Waktu itu sempat mau mencoba ke slipi naik itu, tapi ternyata ketahuan sama temanku dan dipaksa bareng karena kebetulan sejalur. Meski maksanya nggak maksa-maksa banget juga sih, tapi kalimatnya sedikit menyindir yang bilang kalau aku tuh kayak lagi sama siapa aja banyak nggak enaknya, sekaligus karena katanya dia mau cerita sedikit. Dan hal itu―kemana-mana sendiri naik transjakartajuga jadi keterusan, sampai kalau tidak salah saat pertengahan bulan Ramadhan kemarin.

Karena seluruh keluargaku―kecuali adikku yang laki-laki―sedang berlibur di Jakarta selama beberapa hari, makanya aku memutuskan untuk pulang-pergi (PP) Jakarta Timur-Jakarta Selatan setiap harinya. Awalnya aku menggunakan transjakarta seperti biasanya. Namun waktu itu karena hari Jumatnya sepulang dari kantor aku harus langsung mudik ke Purwokerto, makanya aku pun harus mempersiapkan beberapa barang yang akan aku bawa pulang. Barang yang akan aku bawa tidak begitu banyak, hanya sebuah tas jinjing berukuran sedang yang diisi oleh beberapa pasang pakaian dan beberapa novel yang sudah maupun belum aku baca, serta sebuah tas ransel yang berisi laptop dan barang-barang pendukung lainnya.

Tapi karena ketika mencoba sekali-dua kali mengangkat tas jinjing itu rupanya rasanya terlalu berat meski ukurannya tidak begitu besar, aku jadi berpikir akan beberapa hal. Kayak soal bagaimana nanti saat membawa tas berat itu ke kantor, juga soal bingung mau ditaruh dimana tas itu nantinya. Makanya waktu itu, akhirnya aku pun memutuskan untuk memberanikan diri membawa motor ke kantor, berniat untuk pulang ke kos Abi menggunakan motor sendiri. Awalnya sedikit ragu, hingga beberapa kali mengecek rutenya di aplikasi maps untuk meyakinkan diri. Soalnya selain karena aku memang tidak hafal rute perjalanannya, pun berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, aku selalu tersasar ketika berpergian di kota ini meskipun sudah melihat terus-menerus dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh aplikasi maps itu serta perginya pun berboncengan dengan temanku. Tapi karena memikirkan kalau harus bawa-bawa tas seberat itu naik transjakarta, jadinya aku pun membulatkan tekad untuk memberanikan diri membawa motor sendirian.

Hal ini jadi tantangan tersendiri buatku, sih. Meski beberapa minggu sebelumnya aku sempat mengendarai motor sendirian dari kantor ke Depok sore-sore dan sebaliknya ketika malam hari, tetapi rute ke Depok waktu itu kan hanya lurus-lurus saja ya, sedangkan kalau ke kosan Abi tuh waktu mau dekat-dekat lokasinya ada banyak belokannya. Makanya waktu itu aku membawa motornya sambil memegang ponsel di tangan kiri karena masih ragu-ragu dan tidak percaya dengan ingatan sendiri walaupun dulu-dulu sering naik motor bareng temanku ke daerah sana. Tapi membawa motor dengan cara seperti ini tentu berbahaya dan tidak boleh ditiru, soalnya aku pun merasa kesulitan dan jadi pelan-pelan banget jalannya. Apalagi ukuran ponselku cukup besar sedangkan tanganku itu bentuknya agak kecil, alias bantet kalau kata temanku.

Sebenarnya bisa saja kalau aku memasang earphone dan menyalakan suara penunjuk jalan yang biasa muncul dari si aplikasi maps itu. Tapi sayangnya ternyata earphone-ku tertinggal di Purwokerto, makanya mau tidak mau ya harus menggenggam ponsel seperti itu. Dan karena rasanya memegang begitu sambil menyetir itu capeknya luar biasa, makanya hari-hari setelahnya aku pun kembali menggunakan transjakarta dan menitipkan motorku di kantor Abi. Tapi ternyata jalanan ibu kota di jam-jam pulang kantor pada bulan Ramadhan jauh lebih ramai dan mengerikan dari hari-hari biasanya, ya. Aku sampai menghabiskan waktu hampir 2 jam lamanya di jalanan, sampai harus terpaksa berbuka puasa di tengah jalan dan sedikit berlari setelah turun di halte terakhir agar tidak kehabisan waktu sholat maghrib. Padahal aku sudah keluar dari kantor di jam-jam setelah sholat ashar, hiks. Tapi nggak apa-apa deh, demi bisa berkumpul bersama keluarga juga kan, hehe.

Nah karena aku menitipkan motor di kantor Abi sewaktu bulan Ramadhan itu, jadinya setelah lebaran aku pun harus kembali membawa motorku ke kosan. Soalnya kalau naik ojek online PP kantor-kosan tuh cukup mahal, sekitar 20 ribu untuk bolak-balik, yang berarti ongkosnya bisa sampai 100 ribu seminggu. Padahal, kalau aku isi bensin 20 ribu aja habisnya bisa sampai seminggu lebih. Lebih hemat, kan? Jadinya waktu hari sabtu gitu aku pun kembali naik transjakarta ke kosan Abi untuk kemudian hari minggu malamnya naik motor ke kosan. Iya, jadi aku menginap semalam di kosan Abi karena Abi bilang biar aku makannya teratur, sekaligus karena Abi pun ada acara mabit di kantornya. Katanya biar kamarnya nggak kosong dan akunya juga nggak langsung bolak-balik gitu.

Terus ya udah, sewaktu hari minggu malam itu aku pun kembali naik motor tapi kali ini pakai earphone dan nggak perlu bolak-balik ngecek rute perjalanan. Kurang lebih waktunya sekitar 36 menit, sama kayak gambar di sebelah. Dan entah kenapa aku jadi ketagihan gitu. Makanya sewaktu aku mau ke Bandung bareng temanku akhir pekan kemarin, aku menginap di kosan temanku itu dan ke sananya pun naik motor sendiri. Begitu juga sewaktu balik dari kosan temanku ke kosanku, naik motor sendiri dan macet-macetan di kuningan sampai mampang karena memang kata temanku, di jam-jam 10 sampai 11 pagi itu, daerah itu bakalan macet.

Dan, udah deh, sampai segitu aja ceritaku soal kemana-mana sendiri, terutama soal naik motor itu. Tapi aku nulis cerita begini sebenarnya juga nggak ada inti atau maknanya sih, soalnya emang cuma pengen cerita aja gara-gara hal yang aku ceritain di atas tuh termasuknya achievement baru buat aku. Kan biasanya aku kemana-mananya bergantung sama orang lain, hehe. Sekaligus kalau ada temanku yang baca, biar dia juga tahu kalau aku tuh udah nggak se-manja dan nggak se-nggak mandiri kayak dulu-dulu, wkwk. Jadi mereka nggak perlu takut dan khawatir lagi kalau aku mau kemana-mana sendirian. Dan biar mereka juga nggak menganggap aku sebagai anak kecil terus :)

Btw, kan ceritanya di tulisan ini aku mau membahas banyak soal cerita naik motornya, ya. Tapi kok kayaknya malah kebanyakan curhat soal nggak mandiri dan naik kendaraan umumnya daripada naik motornya, ya? Wkwk. Harusnya judulnya diganti, tapi aku males. Jadi nggak apa-apa lah, ya, hehe.
Read More
Published Jumat, Juli 13, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Lihatlah ke Bawah


"Lihatlah mereka yang ada di bawahmu (dalam urusan pencapaian duniawi), dan janganlah kalian memandang orang yang di atas kalian. Itu lebih layak, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah untuk kalian."
― HR. Bukhari dan Muslim


Soal bersyukur dan kerendahan hati. Semoga hal-hal yang begini, kamu tidak sampai melupakannya ya, Nan.
Read More
Published Jumat, Juli 13, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Ketakutan Bagiku


Jadi, beberapa menit yang lalu, aku baru saja selesai menonton sebuah drama korea. Bukan mau membahas tentang jalan cerita di drama tersebut sih, tapi lebih ke hal-hal yang tiba-tiba saja terpikir setelah selesai menonton drama itu.
***
Dramanya cukup sederhana. Hanya menceritakan tentang seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang harus mengalami kejadian yang sangat (amat) buruk. Diculik, dikurung, dan ditempatkan di sebuah bangunan tua yang gelap, sempit, dan kotor. Kedua tangan dan kakinya diikat menggunakan pengikat kabel hingga meninggalkan bekas yang sangat menyakitkan. Mereka diculik dan dikurung oleh seorang perempuan berusia sekitar dua puluhan, yang sepertinya tengah mengalami depresi karena suatu hal. Seorang perempuan yang saat itu selalu memegang gunting kemanapun ia pergi, yang terkadang berteriak histeris tanpa sebab, menangis, hingga terus-terusan menakut-nakuti dengan cara mengancam akan membunuh ataupun menyiksa keduanya.

Cukup lama mereka terperangkap di bangunan itu. Hingga di hari keempat atau kelima yang aku lupa jumlah pastinya, si perempuan itu tiba-tiba merasa sangat frustasi dan berniat untuk bunuh diri. Awalnya ia ingin mengajak kedua anak kecil yang diculiknya, alias ingin membunuh kedua anak kecil itu sebelum kemudian ia akan melakukan bunuh diri. Namun sepertinya ia sedikit tersadarkan dengan kalimat yang diucapkan oleh anak laki-laki yang tengah menangis histeris saat itu, sehingga akhirnya ia memilih untuk bunuh diri dengan cara menggantungkan dirinya di hadapan keduanya. Anak perempuan yang saat itu sedang tertidur tidak melihat kejadian itu meskipun pada akhirnya ia justru menjadi sangat ketakutan saat terbangun. Dan karena anak perempuan itu terlihat sangat ketakutan, maka anak laki-laki itupun berbohong kepada anak perempuan itu dengan mengatakan bahwa yang sedang tergantung di atas langit-langit adalah seekor laba-laba raksasa yang tidak bisa bergerak kemana-mana.

Lalu, demi melihat anak perempuan itu tenang dan tidak menangis lagi, maka anak laki-laki tadi pun memberanikan diri untuk mencari gunting yang biasa dibawa oleh perempuan tadi untuk melepas ikatan yang mengikat kedua kaki dan tangan mereka. Tentu saja hal ini tidak mudah bagi seorang anak yang usianya saat itu baru menginjak sembilan tahun. Merangkak di bawah tubuh yang tergantung tak bernyawa yang memberikan tatapan mengerikan, sekaligus dengan kondisi ruangan yang gelap gulita. Dan setelah ikatan di kedua tangan dan kaki mereka terlepas pun, si anak laki-laki itu kembali berbohong dengan mengatakan bahwa si anak perempuan itu harus menutup matanya agar tidak menarik perhatian laba-laba raksasa yang ada di luar. Hal itu dilakukannya agar si anak perempuan itu tidak melihat si perempuan yang menculik mereka, yang sudah terbujur kaku tak berdaya.

Meski keduanya sudah keluar dan terbebas dari kejadian penculikan itu, kisah mereka tentu tidak berakhir sampai di sini saja. Kejadian yang menimpa keduanya memberikan rasa trauma akan hal-hal yang dulu sempat mereka alami. Seperti si anak laki-laki yang menjadi takut akan kabel-kabel yang terikat oleh ikatan yang sama dengan apa yang mengikat kedua tangan dan kakinya dahulu, serta si anak perempuan yang menjadi takut akan laba-laba meskipun ukurannya sangat kecil. Keduanya pun sering mengalami mimpi buruk, seperti memimpikan berada di tempat yang sama dengan tempat penculikan dulu, sampai memimpikan sosok si perempuan itu. Terlebih untuk si anak laki-laki yang jauh lebih lama dikurung di tempat menyeramkan itu. Makanya, si anak laki-laki itupun sampai harus meminum obat tidur setiap harinya dikarenakan untuk menutup mata saja, ia sudah ketakutan.

Dan ya, hal ini lah yang ingin aku tuliskan di sini. Hal-hal yang tiba-tiba terpikirkan setelah selesai menonton drama itu meskipun dramanya sebenarnya belum sempurna selesai.

***

Mungkin untuk sebagian orang yang baru mengenal kedua orang tadi di masa remaja atau dewasanya akan menganggap bahwa keduanya cukup berlebihan. Takut dengan pengikat kabel dan laba-laba meskipun ukurannya sangat kecil, sangat aneh bukan? Namun jika mereka mengetahui apa yang dulu sempat terjadi kepada keduanya semasa kecil, tentu mereka akan memahami mengapa keduanya bisa memiliki rasa takut yang sangat besar terhadap kedua hal tersebut. Tapi, hal-hal menakutkan yang seperti ini, tentu tidak semua orang tahu, kan? Atau lebih tepatnya, tentu tidak semua orang yang memiliki masa lalu yang buruk mau menceritakan apa yang pernah dialaminya di masa lalu, kan? Makanya, tidak banyak orang yang mampu memahami mengapa seseorang bisa memiliki rasa takut yang berlebihan akan suatu hal, yang memang mungkin bagi kebanyakan orang justru tidak menakutkan sama sekali.

Namun, bagiku, aku rasa akan memahami kondisi mereka meskipun aku tidak tahu apa yang menjadi alasan mengapa mereka bisa memiliki rasa takut itu. Soalnya, aku pun mengalami hal yang serupa. Teman-teman terdekatku pasti sudah paham betul, bahwa aku sangat takut dengan seekor kucing dan ular. Mungkin untuk ular menjadi hal yang wajar bagi kebanyakan orang, namun, untuk melihat sesuatu yang tekstur maupun bentuknya menyerupai ular, meskipun itu ada di sebuah gambar ataupun layar kaca, aku tetap merasa ketakutan. Pun dengan soal aku yang tidak bisa makan sendirian meskipun itu di kamarku sendiri, sampai aku yang tidak bisa tidur dengan nyenyak di tempat yang tidak ada siapapun di dalamnya. Makanya, aku tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak di kamarku sendiri. Ya, aku memang mudah takut, dan ada banyak hal yang menurutku sangat menakutkan meskipun sebagian besarnya justru tidak membahayakan.

Begitu juga dengan kedua temanku yang takut akan laba-laba dan cicak, meskipun kedua hewan tersebut direpresentasikan ke dua buah mainan yang lucu. Dan untuk hal-hal yang begini, aku pun pernah mengalami kejadian dimana seorang temanku mengatakan bahwa ia kesal dengan kami bertiga karena memiliki rasa takut yang berlebihan akan hal-hal yang mungkin tidak masuk ke nalarnya.  Terutama kepadaku yang saat itu kekeuh tidak akan makan kalau tidak ada yang menemani, atau kalau tidak ada hal-hal seperti film atau apapun yang bisa aku tonton atau aku lakukan sambil makan, yang mampu membuat pikiranku tidak mudah kosong. Dan setiap temanku kesal begitu, sebuah pertanyaan selalu muncul di dalam benakku. Seperti, jika kenyataannya temanku itu mengalami hal serupa―yang menjadi penyebab akan ketakutan yang kami alami―apakah ia kan tetap bisa merasa biasa-biasa saja? Apa ia tidak akan merasa ketakutan seperti apa yang kami rasakan? Apa ia bisa hidup normal seperti apa yang ia jalani sekarang?

***

Hmmm.
Sejujurnya, awalnya aku ingin menuliskan banyak-banyak. Menuliskan semua hal yang terlintas di kepala dan apa-apa yang selama ini aku rasakan yang berhubungan dengan hal ini. Namun rasanya keinginan untuk menulis itu seketika hilang saat mengingat semua hal yang berhubungan dengan ketakutan. Bahkan kalian tahu? Di drama yang aku tonton tadi sejujurnya menampilkan banyak kisah sedih, namun aku justru menangis ketika melihat anak laki-laki itu terbangun dari tidurnya dan tiba-tiba menangis histeris karena dirinya merasakan ketakutan yang sangat amat besar. Apalagi ketika sedang tertidur dengan nyenyaknya, tiba-tiba ia memimpikan perempuan yang dulu pernah menculiknya.

Entahlah. Mungkin karena ketakutan bagiku lebih dari sekadar tanggapan emosi terhadap sebuah ancaman.
Read More