Selama beberapa bulan tinggal di kota metropolitan―Jakarta―ini, aku kemana-mana tidak pernah sendiri. Ke kosan teman, main dengan teman-teman, ke luar kota, atau apapun itu selalu aku lakukan bersama satu-dua orang lebih temanku.
Mungkin karena aku terlihat mudah bingung atau terlihat tidak bisa melakukan apa-apanya sendiri, makanya seringnya teman-temanku tidak mempercayaiku untuk berpergian sendirian di kota ini. Sifatku yang sangat bergantung dengan orang terdekat serta tidak bisa mandiri membuat mereka selalu menawarkan diri untuk menemaniku setiap kali mereka tahu bahwa aku akan berpergian jauh. Padahal aku tidak pernah meminta, namun mereka seolah-olah tahu bahwa aku sebenarnya tidak berani kemana-mana sendiri, sehingga tanpa aku minta pun seringnya mereka langsung berinisiatif untuk menanyakan atau langsung menawari untuk mengantarku. Terkadang aku jadi terharu sih, sekaligus senang meski seringnya aku agak jengah karena kadang-kadang mereka seperti memaksa.
Tapi, tentu saja aku tahu alasan mengapa mereka seringnya memaksa seperti itu. Apalagi tidak semua orang memiliki teman-teman yang begitu peduli seperti teman-temanku ini. Namun sebaik apapun sikap yang mereka tunjukkan, tidak mungkin aku terus-terusan bergantung dengan mereka, kan? Hal-hal yang begini tentunya memiliki peraturan-peraturan dan batasan-batasan yang harus ditaati. Maka dalam beberapa bulan terakhir, aku mulai memberanikan diri untuk pergi kemana-mana sendiri.
***
Dulu, ketika awal-awal tinggal di kota ini, kalau aku ingin pulang ke kontrakan Abi biasanya aku selalu diantar oleh temanku yang rumahnya sejalur denganku. Jadi aku akan diantar ke tempat tujuan, lalu setelahnya temanku itu pulang ke rumahnya dengan membawa motorku. Begitu pula ketika akan kembali ke kosanku, maka temanku itu akan kembali menjemputku. Pun ketika aku ingin pulang ke Purwokerto, maka temanku ini akan mengantarku ke stasiun dan menjemputku beberapa hari setelahnya. Pokoknya, aku selalu diantar-jemput oleh temanku yang satu ini. Bahkan ketika temanku ini sudah pindah ke kantor yang jauh dari daerah kantorku, ia tetap menawarkan dan menyempatkan diri untuk mengantar-jemput. Padahal, jarak kantornya dengan stasiun itu menurut aplikasi maps hampir 27 km.
Dan kalau temanku ini sedang tidak bisa mengantar-jemput, maka aku akan menggunakan ojek online sebagai kendaraannya karena saking tidak beraninya aku kemana-mana sendiri. Padahal, temanku itu menyarankan agar aku menggunakan transjakarta saja karena selain lebih murah, tentunya menggunakan bus itu jauh lebih aman. Namun, rasanya kebiasaanku yang sangat bergantung dengan orang lain itu sudah terlalu mengakar dalam diriku (alesan sih, wkwk) sehingga aku terus-terusan lebih memilih memesan ojek online yang terkadang biayanya hampir mencapai 50 ribu. Bahkan suatu ketika aku pernah berpergian dari Jakarta ke Bandung menggunakan bus dengan seorang temanku yang harga tiketnya kalau tidak salah berkisar antara 40-45 ribu, namun dibarengi dengan harga ongkos ojek online yang juga tidak terlalu berbeda. Hampir 30 ribu sendiri untuk sekali jalan (hiks).
Terkadang aku agak sedih dan merasa sayang juga sih kalau harus mengeluarkan biaya sampai sebesar itu disaat ada kendaraan lain yang jauh lebih murah daripada itu. Awalnya aku tidak begitu peduli, alias meskipun setelahnya merasa sedih tapi besok-besoknya aku akan tetap menggunakan ojek online kalau ingin berpergian kemana-mana. Namun di suatu ketika yang aku lupa tepatnya hari apa, di hari dimana aku mengantar Ummi dan adik-adikku ke stasiun bersama Abi, Abi dan Ummi menyuruhku untuk menggunakan transjakarta saja dari stasiun ke kosan daripada harus naik ojek online. Soalnya Abi harus buru-buru ke kantor dan memang jalanan sewaktu itu sedang macet-macetnya. Awalnya aku bilang kalau aku tidak begitu tahu jalurnya dan malas kalau harus tanya-tanya. Tapi mungkin karena Abi juga tidak tega dan sedikit memaksa, serta ketika aku melihat ongkosnya pun kali itu lebih mahal dari biasanya, maka akhirnya aku pun luluh dan nurut.
Tentunya Abi juga paham seperti teman-temanku. Jauh lebih paham. Makanya waktu itu, aku sampai dibela-belain diantar ke halte sekaligus Abi yang bertanya ke petugasnya agar aku tidak salah naik koridor bus. Abi sampai mewanti-wanti banget soal di halte mana aku harus turun dan transit. Bahkan setiap beberapa menit sekali Abi akan selalu menanyakan aku sudah sampai mana, setelah sebelumnya ikut menungguiku di halte sampai aku benar-benar naik ke bus dengan koridor yang benar. Awalnya aku agak sedikit takut, bolak-balik mengecek aplikasi traffi untuk memastikan rute karena petugasnya bilang kalau aku harus dua kali transit. Aplikasi traffi ini pun sebenarnya rekomendasi dari seorang temanku saat dulu awal-awal aku baru tinggal di Jakarta, saat ia tahu bahwa daerahku paling jauh sendiri dibandingkan dengan yang lainnya. Katanya biar aku nggak nyasar (padahal kan, ngelihat petunjuk dari aplikasi itu awal-awal juga susah, hiks).
Tapi setelah kurang lebih setengah jam lamanya aku berada di perjalanan, entah mengapa menggunakan transjakarta saat itu terasa jauh lebih menyenangkan. Benar-benar jauh lebih menyenangkan daripada saat naik transjakarta bareng temanku yang rutenya hampir mirip-mirip dengan rute yang ini, walaupun ada sedikit miskomunikasi karena temanku ngeyel maunya ke rute blok m sedangkan aku maunya ke ragunan. Tapi waktu itu aku berpikir, daripada terus-terusan menggunakan ojek online yang ongkosnya mahal seperti itu, kan lebih baik kalau membiasakan diri menggunakan kendaraan umum lainnya, kan. Makanya setelah pengalaman perjalanan menggunakan transjakarta waktu itu, aku pun memutuskan untuk terus menggunakan kendaraan umum dan berniat untuk men-explore sendiri rute-rute yang lain. Tapi kalau untuk commuterline (krl) memang belum berani sih, hehe. Untuk kendaraan yang ini aku tetap pada pendirianku kalau mau naik itu, harus sama orang lain (wkwk).
Intinya waktu itu, aku kemana-mana sendiri. Ke kontrakan―sekarang sudah pindah ke kosan―Abi, ke blok m, ke senayan, dan ke tempat-tempat lainnya yang bisa dijangkau oleh transjakarta. Waktu itu sempat mau mencoba ke slipi naik itu, tapi ternyata ketahuan sama temanku dan dipaksa bareng karena kebetulan sejalur. Meski maksanya nggak maksa-maksa banget juga sih, tapi kalimatnya sedikit menyindir yang bilang kalau aku tuh kayak lagi sama siapa aja banyak nggak enaknya, sekaligus karena katanya dia mau cerita sedikit. Dan hal itu―kemana-mana sendiri naik transjakarta―juga jadi keterusan, sampai kalau tidak salah saat pertengahan bulan Ramadhan kemarin.
Karena seluruh keluargaku―kecuali adikku yang laki-laki―sedang berlibur di Jakarta selama beberapa hari, makanya aku memutuskan untuk pulang-pergi (PP) Jakarta Timur-Jakarta Selatan setiap harinya. Awalnya aku menggunakan transjakarta seperti biasanya. Namun waktu itu karena hari Jumatnya sepulang dari kantor aku harus langsung mudik ke Purwokerto, makanya aku pun harus mempersiapkan beberapa barang yang akan aku bawa pulang. Barang yang akan aku bawa tidak begitu banyak, hanya sebuah tas jinjing berukuran sedang yang diisi oleh beberapa pasang pakaian dan beberapa novel yang sudah maupun belum aku baca, serta sebuah tas ransel yang berisi laptop dan barang-barang pendukung lainnya.
Tapi karena ketika mencoba sekali-dua kali mengangkat tas jinjing itu rupanya rasanya terlalu berat meski ukurannya tidak begitu besar, aku jadi berpikir akan beberapa hal. Kayak soal bagaimana nanti saat membawa tas berat itu ke kantor, juga soal bingung mau ditaruh dimana tas itu nantinya. Makanya waktu itu, akhirnya aku pun memutuskan untuk memberanikan diri membawa motor ke kantor, berniat untuk pulang ke kos Abi menggunakan motor sendiri. Awalnya sedikit ragu, hingga beberapa kali mengecek rutenya di aplikasi maps untuk meyakinkan diri. Soalnya selain karena aku memang tidak hafal rute perjalanannya, pun berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, aku selalu tersasar ketika berpergian di kota ini meskipun sudah melihat terus-menerus dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh aplikasi maps itu serta perginya pun berboncengan dengan temanku. Tapi karena memikirkan kalau harus bawa-bawa tas seberat itu naik transjakarta, jadinya aku pun membulatkan tekad untuk memberanikan diri membawa motor sendirian.
Mungkin karena aku terlihat mudah bingung atau terlihat tidak bisa melakukan apa-apanya sendiri, makanya seringnya teman-temanku tidak mempercayaiku untuk berpergian sendirian di kota ini. Sifatku yang sangat bergantung dengan orang terdekat serta tidak bisa mandiri membuat mereka selalu menawarkan diri untuk menemaniku setiap kali mereka tahu bahwa aku akan berpergian jauh. Padahal aku tidak pernah meminta, namun mereka seolah-olah tahu bahwa aku sebenarnya tidak berani kemana-mana sendiri, sehingga tanpa aku minta pun seringnya mereka langsung berinisiatif untuk menanyakan atau langsung menawari untuk mengantarku. Terkadang aku jadi terharu sih, sekaligus senang meski seringnya aku agak jengah karena kadang-kadang mereka seperti memaksa.
Tapi, tentu saja aku tahu alasan mengapa mereka seringnya memaksa seperti itu. Apalagi tidak semua orang memiliki teman-teman yang begitu peduli seperti teman-temanku ini. Namun sebaik apapun sikap yang mereka tunjukkan, tidak mungkin aku terus-terusan bergantung dengan mereka, kan? Hal-hal yang begini tentunya memiliki peraturan-peraturan dan batasan-batasan yang harus ditaati. Maka dalam beberapa bulan terakhir, aku mulai memberanikan diri untuk pergi kemana-mana sendiri.
***
Dulu, ketika awal-awal tinggal di kota ini, kalau aku ingin pulang ke kontrakan Abi biasanya aku selalu diantar oleh temanku yang rumahnya sejalur denganku. Jadi aku akan diantar ke tempat tujuan, lalu setelahnya temanku itu pulang ke rumahnya dengan membawa motorku. Begitu pula ketika akan kembali ke kosanku, maka temanku itu akan kembali menjemputku. Pun ketika aku ingin pulang ke Purwokerto, maka temanku ini akan mengantarku ke stasiun dan menjemputku beberapa hari setelahnya. Pokoknya, aku selalu diantar-jemput oleh temanku yang satu ini. Bahkan ketika temanku ini sudah pindah ke kantor yang jauh dari daerah kantorku, ia tetap menawarkan dan menyempatkan diri untuk mengantar-jemput. Padahal, jarak kantornya dengan stasiun itu menurut aplikasi maps hampir 27 km.
Dan kalau temanku ini sedang tidak bisa mengantar-jemput, maka aku akan menggunakan ojek online sebagai kendaraannya karena saking tidak beraninya aku kemana-mana sendiri. Padahal, temanku itu menyarankan agar aku menggunakan transjakarta saja karena selain lebih murah, tentunya menggunakan bus itu jauh lebih aman. Namun, rasanya kebiasaanku yang sangat bergantung dengan orang lain itu sudah terlalu mengakar dalam diriku (alesan sih, wkwk) sehingga aku terus-terusan lebih memilih memesan ojek online yang terkadang biayanya hampir mencapai 50 ribu. Bahkan suatu ketika aku pernah berpergian dari Jakarta ke Bandung menggunakan bus dengan seorang temanku yang harga tiketnya kalau tidak salah berkisar antara 40-45 ribu, namun dibarengi dengan harga ongkos ojek online yang juga tidak terlalu berbeda. Hampir 30 ribu sendiri untuk sekali jalan (hiks).
Terkadang aku agak sedih dan merasa sayang juga sih kalau harus mengeluarkan biaya sampai sebesar itu disaat ada kendaraan lain yang jauh lebih murah daripada itu. Awalnya aku tidak begitu peduli, alias meskipun setelahnya merasa sedih tapi besok-besoknya aku akan tetap menggunakan ojek online kalau ingin berpergian kemana-mana. Namun di suatu ketika yang aku lupa tepatnya hari apa, di hari dimana aku mengantar Ummi dan adik-adikku ke stasiun bersama Abi, Abi dan Ummi menyuruhku untuk menggunakan transjakarta saja dari stasiun ke kosan daripada harus naik ojek online. Soalnya Abi harus buru-buru ke kantor dan memang jalanan sewaktu itu sedang macet-macetnya. Awalnya aku bilang kalau aku tidak begitu tahu jalurnya dan malas kalau harus tanya-tanya. Tapi mungkin karena Abi juga tidak tega dan sedikit memaksa, serta ketika aku melihat ongkosnya pun kali itu lebih mahal dari biasanya, maka akhirnya aku pun luluh dan nurut.
Tentunya Abi juga paham seperti teman-temanku. Jauh lebih paham. Makanya waktu itu, aku sampai dibela-belain diantar ke halte sekaligus Abi yang bertanya ke petugasnya agar aku tidak salah naik koridor bus. Abi sampai mewanti-wanti banget soal di halte mana aku harus turun dan transit. Bahkan setiap beberapa menit sekali Abi akan selalu menanyakan aku sudah sampai mana, setelah sebelumnya ikut menungguiku di halte sampai aku benar-benar naik ke bus dengan koridor yang benar. Awalnya aku agak sedikit takut, bolak-balik mengecek aplikasi traffi untuk memastikan rute karena petugasnya bilang kalau aku harus dua kali transit. Aplikasi traffi ini pun sebenarnya rekomendasi dari seorang temanku saat dulu awal-awal aku baru tinggal di Jakarta, saat ia tahu bahwa daerahku paling jauh sendiri dibandingkan dengan yang lainnya. Katanya biar aku nggak nyasar (padahal kan, ngelihat petunjuk dari aplikasi itu awal-awal juga susah, hiks).
Tapi setelah kurang lebih setengah jam lamanya aku berada di perjalanan, entah mengapa menggunakan transjakarta saat itu terasa jauh lebih menyenangkan. Benar-benar jauh lebih menyenangkan daripada saat naik transjakarta bareng temanku yang rutenya hampir mirip-mirip dengan rute yang ini, walaupun ada sedikit miskomunikasi karena temanku ngeyel maunya ke rute blok m sedangkan aku maunya ke ragunan. Tapi waktu itu aku berpikir, daripada terus-terusan menggunakan ojek online yang ongkosnya mahal seperti itu, kan lebih baik kalau membiasakan diri menggunakan kendaraan umum lainnya, kan. Makanya setelah pengalaman perjalanan menggunakan transjakarta waktu itu, aku pun memutuskan untuk terus menggunakan kendaraan umum dan berniat untuk men-explore sendiri rute-rute yang lain. Tapi kalau untuk commuterline (krl) memang belum berani sih, hehe. Untuk kendaraan yang ini aku tetap pada pendirianku kalau mau naik itu, harus sama orang lain (wkwk).
Intinya waktu itu, aku kemana-mana sendiri. Ke kontrakan―sekarang sudah pindah ke kosan―Abi, ke blok m, ke senayan, dan ke tempat-tempat lainnya yang bisa dijangkau oleh transjakarta. Waktu itu sempat mau mencoba ke slipi naik itu, tapi ternyata ketahuan sama temanku dan dipaksa bareng karena kebetulan sejalur. Meski maksanya nggak maksa-maksa banget juga sih, tapi kalimatnya sedikit menyindir yang bilang kalau aku tuh kayak lagi sama siapa aja banyak nggak enaknya, sekaligus karena katanya dia mau cerita sedikit. Dan hal itu―kemana-mana sendiri naik transjakarta―juga jadi keterusan, sampai kalau tidak salah saat pertengahan bulan Ramadhan kemarin.
Karena seluruh keluargaku―kecuali adikku yang laki-laki―sedang berlibur di Jakarta selama beberapa hari, makanya aku memutuskan untuk pulang-pergi (PP) Jakarta Timur-Jakarta Selatan setiap harinya. Awalnya aku menggunakan transjakarta seperti biasanya. Namun waktu itu karena hari Jumatnya sepulang dari kantor aku harus langsung mudik ke Purwokerto, makanya aku pun harus mempersiapkan beberapa barang yang akan aku bawa pulang. Barang yang akan aku bawa tidak begitu banyak, hanya sebuah tas jinjing berukuran sedang yang diisi oleh beberapa pasang pakaian dan beberapa novel yang sudah maupun belum aku baca, serta sebuah tas ransel yang berisi laptop dan barang-barang pendukung lainnya.
Tapi karena ketika mencoba sekali-dua kali mengangkat tas jinjing itu rupanya rasanya terlalu berat meski ukurannya tidak begitu besar, aku jadi berpikir akan beberapa hal. Kayak soal bagaimana nanti saat membawa tas berat itu ke kantor, juga soal bingung mau ditaruh dimana tas itu nantinya. Makanya waktu itu, akhirnya aku pun memutuskan untuk memberanikan diri membawa motor ke kantor, berniat untuk pulang ke kos Abi menggunakan motor sendiri. Awalnya sedikit ragu, hingga beberapa kali mengecek rutenya di aplikasi maps untuk meyakinkan diri. Soalnya selain karena aku memang tidak hafal rute perjalanannya, pun berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, aku selalu tersasar ketika berpergian di kota ini meskipun sudah melihat terus-menerus dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh aplikasi maps itu serta perginya pun berboncengan dengan temanku. Tapi karena memikirkan kalau harus bawa-bawa tas seberat itu naik transjakarta, jadinya aku pun membulatkan tekad untuk memberanikan diri membawa motor sendirian.
Hal ini jadi tantangan tersendiri buatku, sih. Meski beberapa minggu sebelumnya aku sempat mengendarai motor sendirian dari kantor ke Depok sore-sore dan sebaliknya ketika malam hari, tetapi rute ke Depok waktu itu kan hanya lurus-lurus saja ya, sedangkan kalau ke kosan Abi tuh waktu mau dekat-dekat lokasinya ada banyak belokannya. Makanya waktu itu aku membawa motornya sambil memegang ponsel di tangan kiri karena masih ragu-ragu dan tidak percaya dengan ingatan sendiri walaupun dulu-dulu sering naik motor bareng temanku ke daerah sana. Tapi membawa motor dengan cara seperti ini tentu berbahaya dan tidak boleh ditiru, soalnya aku pun merasa kesulitan dan jadi pelan-pelan banget jalannya. Apalagi ukuran ponselku cukup besar sedangkan tanganku itu bentuknya agak kecil, alias bantet kalau kata temanku.
Sebenarnya bisa saja kalau aku memasang earphone dan menyalakan suara penunjuk jalan yang biasa muncul dari si aplikasi maps itu. Tapi sayangnya ternyata earphone-ku tertinggal di Purwokerto, makanya mau tidak mau ya harus menggenggam ponsel seperti itu. Dan karena rasanya memegang begitu sambil menyetir itu capeknya luar biasa, makanya hari-hari setelahnya aku pun kembali menggunakan transjakarta dan menitipkan motorku di kantor Abi. Tapi ternyata jalanan ibu kota di jam-jam pulang kantor pada bulan Ramadhan jauh lebih ramai dan mengerikan dari hari-hari biasanya, ya. Aku sampai menghabiskan waktu hampir 2 jam lamanya di jalanan, sampai harus terpaksa berbuka puasa di tengah jalan dan sedikit berlari setelah turun di halte terakhir agar tidak kehabisan waktu sholat maghrib. Padahal aku sudah keluar dari kantor di jam-jam setelah sholat ashar, hiks. Tapi nggak apa-apa deh, demi bisa berkumpul bersama keluarga juga kan, hehe.
Nah karena aku menitipkan motor di kantor Abi sewaktu bulan Ramadhan itu, jadinya setelah lebaran aku pun harus kembali membawa motorku ke kosan. Soalnya kalau naik ojek online PP kantor-kosan tuh cukup mahal, sekitar 20 ribu untuk bolak-balik, yang berarti ongkosnya bisa sampai 100 ribu seminggu. Padahal, kalau aku isi bensin 20 ribu aja habisnya bisa sampai seminggu lebih. Lebih hemat, kan? Jadinya waktu hari sabtu gitu aku pun kembali naik transjakarta ke kosan Abi untuk kemudian hari minggu malamnya naik motor ke kosan. Iya, jadi aku menginap semalam di kosan Abi karena Abi bilang biar aku makannya teratur, sekaligus karena Abi pun ada acara mabit di kantornya. Katanya biar kamarnya nggak kosong dan akunya juga nggak langsung bolak-balik gitu.
Terus ya udah, sewaktu hari minggu malam itu aku pun kembali naik motor tapi kali ini pakai earphone dan nggak perlu bolak-balik ngecek rute perjalanan. Kurang lebih waktunya sekitar 36 menit, sama kayak gambar di sebelah. Dan entah kenapa aku jadi ketagihan gitu. Makanya sewaktu aku mau ke Bandung bareng temanku akhir pekan kemarin, aku menginap di kosan temanku itu dan ke sananya pun naik motor sendiri. Begitu juga sewaktu balik dari kosan temanku ke kosanku, naik motor sendiri dan macet-macetan di kuningan sampai mampang karena memang kata temanku, di jam-jam 10 sampai 11 pagi itu, daerah itu bakalan macet.
Dan, udah deh, sampai segitu aja ceritaku soal kemana-mana sendiri, terutama soal naik motor itu. Tapi aku nulis cerita begini sebenarnya juga nggak ada inti atau maknanya sih, soalnya emang cuma pengen cerita aja gara-gara hal yang aku ceritain di atas tuh termasuknya achievement baru buat aku. Kan biasanya aku kemana-mananya bergantung sama orang lain, hehe. Sekaligus kalau ada temanku yang baca, biar dia juga tahu kalau aku tuh udah nggak se-manja dan nggak se-nggak mandiri kayak dulu-dulu, wkwk. Jadi mereka nggak perlu takut dan khawatir lagi kalau aku mau kemana-mana sendirian. Dan biar mereka juga nggak menganggap aku sebagai anak kecil terus :)
Btw, kan ceritanya di tulisan ini aku mau membahas banyak soal cerita naik motornya, ya. Tapi kok kayaknya malah kebanyakan curhat soal nggak mandiri dan naik kendaraan umumnya daripada naik motornya, ya? Wkwk. Harusnya judulnya diganti, tapi aku males. Jadi nggak apa-apa lah, ya, hehe.
Dan, udah deh, sampai segitu aja ceritaku soal kemana-mana sendiri, terutama soal naik motor itu. Tapi aku nulis cerita begini sebenarnya juga nggak ada inti atau maknanya sih, soalnya emang cuma pengen cerita aja gara-gara hal yang aku ceritain di atas tuh termasuknya achievement baru buat aku. Kan biasanya aku kemana-mananya bergantung sama orang lain, hehe. Sekaligus kalau ada temanku yang baca, biar dia juga tahu kalau aku tuh udah nggak se-manja dan nggak se-nggak mandiri kayak dulu-dulu, wkwk. Jadi mereka nggak perlu takut dan khawatir lagi kalau aku mau kemana-mana sendirian. Dan biar mereka juga nggak menganggap aku sebagai anak kecil terus :)
Btw, kan ceritanya di tulisan ini aku mau membahas banyak soal cerita naik motornya, ya. Tapi kok kayaknya malah kebanyakan curhat soal nggak mandiri dan naik kendaraan umumnya daripada naik motornya, ya? Wkwk. Harusnya judulnya diganti, tapi aku males. Jadi nggak apa-apa lah, ya, hehe.