Di bulan-bulan sebelumnya, aku biasa "memberi" jatah libur memasak selama satu hari per minggunya. Sebenarnya Pak Suami sih membebaskan aku untuk memilih apakah mau masak atau beli makan di luar. Maksudnya, kalau emang lagi pengen masak ya masak, lagi nggak pengen ya tinggal beli di warung dekat rumah atau delivery saja. Tapi tentunya sebagai mamak-mamak baru yang udah mulai mikirin alur pemasukan dan pengeluaran, semalas apapun, rasanya lebih milih untuk lebih banyak masaknya daripada beli jadinya karena tentunya pasti lebih murah.
Habisnya, dulu sewaktu awal-awal menikah dan masih lebih sering "jajan" di luar, penghasilan Suami jarang ada sisanya. Pasti habis, dan malah terkadang kurang sampai harus mengorek-orek isi tabungan. Jadi nggak bisa berselancar di dunia "per-onlineshop-an" sering-sering dan nggak ada sisa biaya untuk liburan, karena yang ada malah tabungannya jadi semakin terkikis. Padahal yang dilakukan cuma makan dan makan, yang sebenarnya juga bukan makanan yang mewah-mewah banget. Jadinya meskipun banyak jajannya, tapi rasanya tetap saja meringis.
Lalu sewaktu mulai pindah ke rumah orang tua dan qodarullah kondisi alm. Ummi tidak memungkinkan untuk sering-sering makan makanan luar, aku jadi "dipaksa" untuk lebih sering memasak sendiri di rumah. Terus di situ aku mulai sadar, kok ya tiap akhir bulan gaji Pak Suami malah jadi lebih banyak sisanya. Meski tidak seberapa, tapi setidaknya tabungan jadi tidak tersentuh sama sekali. Eh tersentuh ding, tapi kali ini justru jadi semakin bertambah sedikit demi sedikit. Beberapa e-commerce pun jadi sering dibuka karena jadi punya jatah buat "jajan" yang lain, hehe. Dan rasanya tiap bulan jadi jarang meringis karena angka tabungan yang semakin bertambah meski sedikit. Apalagi di situasi seperti sekarang yang memang lebih aman untuk selalu makan masakan rumahan alias masak sendiri. Udah uang makannya jadi bersisa setengahnya, jatah "jajan" di luar pun jadi bisa berpindah seluruhnya ke tabungan karena sampai akhir bulan pun tidak terpakai.
Tapi yang namanya ibu-ibu muda *menolaktua*, ya tetap saja masih ada rasa jenuhnya kalau harus masak terus tiap hari. Rasanya kayak pengen ada waktu buat libur dari dunia perdapuran, atau minimal bisa masak agak siangan gitu karena pengen leha-leha sebentar selepas sholat shubuh. Cuma rasa takut dan rasa tanggungjawab (yang semoga terus diistiqomahkan) untuk bisa terus mengisi perut orang-orang rumah dengan makanan yang Insya Allah sudah terjamin kebersihannya karena diolah sendiri itu Alhamdulillah masih lebih besar sedikit daripada rasa jenuhnya. Ya, kayak hari ini.
Hari ini aku cuma ngegoreng lele yang udah dibumbuin dan ayam yang udah diungkep di hari sebelumnya, ngegoreng tahu yang emang udah ada rasanya, sama ngoseng kangkung yang juga udah dipetik dari pertama kali beli, jadi tinggal dicuci-cuci aja. Paling effort-nya cuma di ngiris-ngiris duo bawang sama bikin sambel karena harus digoreng dulu baru diulek. Ngegoreng lele sama ayamnya juga nggak banyak-banyak, karena kalau kurang tinggal ngegoreng lagi sorenya—yang seringnya dibantuin Pak Suami atau Azizah, karena kalau sore-sore itu dapurnya ramai sama penghuni rumah yang lagi nggak ada kerjaan. Kenapa nggak ngegoreng lele aja atau ayam aja? Ya karena Ais dan Azizah sukanya lele, sedangkan Hilmi dan Pak Suami sukanya ayam. Jadi harus digoreng dua-duanya biar pada mau makan. Soalnya kalau yang digoreng cuma salah satunya, jadi ada yang nggak doyan makan dan ngarep-ngarep buat jajan di luar, hiks.
---
Dari beberapa menit yang lalu mikirin kalimat lanjutannya tapi malah jadi blank dan nggak tahu mau nulis apa lagi. Jadi udahan aja ya curhatnya, hehe. Semoga bukan termasuk dalam kegiatan mengeluh, aamiin.
Read More