Jam dinding menunjukkan pukul 06.00 ketika aku baru bangun dari tidurku. Udara terasa lebih dingin dari pagi-pagi yang sebelumnya. Iseng-iseng ku sentuhkan jemari kecilku ke jendela kamar. Dingin. Menjalar ke seluruh tubuhku. Dengan raut wajah setengah mengantuk, ku paksakan beranjak dari kasurku. Malas. Tapi harus ku lakukan. Hari ini, aku ada janji dengan mbak Ninda.
“Pagi sayang, nyenyak kah tidurmu semalam?”, sapa ibu dari ruang tengah.
“Nyenyak bu. Hari ini aku ke rumah mbak Ninda ya bu?”, jawabku balik bertanya. Ibu tersenyum mengangguk. Aku juga tersenyum, kemudian kembali berjalan. Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi. 20 menit. Aku bersiap-siap pergi.
Di halaman depan, kupanaskan motorku. Hanya Honda model lama. Tapi tidak berarti sudah tidak terpakai lagi. Justru motor inilah yang selalu menemaniku kemana saja. Walaupun terkadang sulit untuk digunakan, tapi inilah motorku satu-satunya. Motor pemberian almarhum ayah dua tahun silam. 10 menit, aku pergi.
Sebenarnya aku agak malas kalau harus keluar pagi ini. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan tugas kuliah. Pulang paling cepat jam 9 malam, dan tidur paling cepat jam 2 pagi. Itupun terkadang tidak nyenyak karena terbayang-bayang tugas yang belum selesai. Dan hari ini adalah hari kosong buatku. Hari yang pas untuk beristirahat. Tapi mau bagaimana lagi? Aku terlanjur janji pada mbak Ninda untuk menemuinya hari ini. Tujuanku satu. Menjadi seorang penulis.
Ya, cita-citaku sejak duduk dibangku SMP adalah menjadi seorang penulis. Sebenarnya aku sudah mulai menulis dari kelas 1 SMP. Hanya saja aku tidak PD dengan karyaku. Berkali-kali aku mengirimkannya ke beberapa media cetak, tapi tetap saja tidak ada yang dimuat, ataupun diterbitkan. Malah pernah ada yang membalasnya dengan mengatakan bahwa karyaku tidak layak disebut sebagai karya. Sakit. Tapi itulah kenyataannya.
Cukup 15 menit untuk berkendara ke rumah mbak Ninda. Jalanan Purwokerto masih terbilang sepi. Paling hanya sekali-dua kali terjadi kemacetan. Itupun karena ada pengemudi angkutan umum yang berhenti semaunya. Aku tiba tepat pukul 08.05. Aku terlambat 5 menit. Tapi sepertinya mbak Ninda tidak seperti bu Dian, dosen kampus yang galak itu.
“Pagi Dinda, rupanya kau terlambat 5 menit dari perjanjian”, sapa mbak Ninda mengagetkanku.
“Iya mbak maaf, tadi aku malas sekali untuk bangun”, jawabku.
“Pasti karena tugas kuliah itu ya? Yasudah, aku bukan bu Dian kok”, goda mbak Ninda. Aku hanya tersenyum, lalu berjalan masuk.
Mulai saat itupun aku mulai belajar banyak. Dari mulai mencari inspirasi untuk ceritaku, mengoreksi bahasa yang kugunakan dalam kalimatku, dan cara mengatasi rasa malas. Lengkap. Sempurna. Tidak ada yang terlewatkan. Hingga akhirnya, setelah dua bulan berlalu, mbak Ninda menyuruhku untuk mengirimkan beberapa cerpen yang telah aku buat. Tidak banyak. Tetapi menarik. Begitu katanya. Yang terpenting adalah keselarasan antara satu cerita dengan cerita yang lainnya. Dan permintaan itupun aku turuti. Aku mengirimkan sepuluh buah karyaku. Semuanya aku kumpulkan jadi satu, lalu aku bukukan. Dan mbak Ninda memberiku dua buah alamat penerbit. Awalnya aku ragu. Walaupun sudah dua bulan belajar, tapi aku masih ragu dengan kemampuanku. Aku takut. Ketakutanku sama. Takut ditolak. Takut diejek. Takut dihina.
“Bagaimana caranya kamu bisa jadi penulis jika untuk mengirimkan karyamu saja kamu takut? Memangnya penerbit-penerbit itu bisa langsung tahu tentang karyamu? Tidak kan?”, begitu katanya ketika aku mengutarakan ketakutanku ini.
* * * * *
Oh iya, aku lupa mengenalkan siapa diriku. Namaku Adinda Saputri. Biasanya, orang-orang memanggilku dengan nama pendek, Dinda. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Di rumah, aku hanya tinggal dengan ibuku dan kedua adikku. Ayahku sudah lama meninggal karena sakit kankernya. Cukup menyedihkan. Tapi aku harus kuat dengan keadaan ini.
Aku duduk dibangku kuliah. Aku juga menyambi kerja paruh waktu pada sebuah toko kue. Penghasilanku lumayan. Walaupun sebenarnya tetap saja tidak mencukupi kebutuhan keluargaku. Dan motor Honda butut itu adalah satu-satunya harta warisan ayah yang tersisa. Selain itu, tidak ada.
Kondisi keluargaku yang seperti inilah yang memaksaku untuk bekerja. Dan aku berharap, aku benar-benar bisa menjadi seorang penulis yang kondang. Bukan apa-apa, aku hanya ingin membantu kondisi keuangan keluargaku. Aku tidak tega jika harus melihat ibu berusaha mati-matian untuk membiayai kuliahku, dan kedua adik-adikku yang sebentar lagi akan pindah sekolah. Itu pasti membutuhkan biaya yang cukup banyak.
Kembali pada cita-citaku. Aku telah mengirimkan karyaku itu ke salah satu penerbit yang disarankan oleh mbak Ninda. Dan ternyata usaha pertamaku gagal. Enam bulan lamanya aku menunggu, penerbit itu sama sekali tidak menghubungiku.
“Untuk menjadi seorang penulis, bukan hanya karya yang bagus saja. Tetapi nama juga diutamakan. Mungkin saat karyamu sampai, ada banyak karya-karya dari penulis lain yang sudah memiliki nama. Biasanya, para penerbit mengutamakan mereka, karena pasti karya-karya merekalah yang banyak pembaca cari. Jangan patah semangat. Coba saja lebih sering mengirimkan karya-karyamu. Mbak yakin, pasti penerbit-penerbit itu lama-lama akan tertarik dengan karyamu, karena begitu seringnya namamu muncul disana”, hibur mbak Ninda. Aku hanya tersenyum paksa. Sangat terpaksa.
Tapi bagaimanapun juga, aku bukanlah tipe orang yang gampang berputus asa. Keraguan itu pasti ada, tapi tidak akan membunuh semangatku. Seminggu vakum, aku mulai menulis lagi. Setiap ada waktu senggang, aku menulis apa saja yang ada di benakku. Saat jam kosong, menjaga toko kue, dan lain sebagainya. Tapi tetap aku tidak mengabaikan kewajiban-kewajibanku. Itu selalu aku utamakan.
Tidak lama, hanya tiga bulan berusaha, akhirnya usahaku terbalaskan. Salah satu karya yang aku kirimkan ternyata menarik perhatian salah satu penerbit. Alasannya sama dengan apa yang dikatakan oleh mbak Ninda. Persis. Mirip. Mereka tertarik karena memang ceritaku menarik, dan namaku sering ada dihadapan mereka. Aku hanya perlu mengirimkan beberapa persyaratan-persyaratan yang harus aku penuhi.
Butuh waktu satu bulan untuk menerbitkan karyaku. Tidak buruk. Walaupun bukan termasuk best seller, setidaknya aku dapat bayaran yang lumayan. Keraguanku mulai hilang, musnah. Kini aku semakin semangat untuk memunculkan ide-ideku. Setahun kemudian, aku bergabung dengan forum dunia tulis. Mbak Ninda lah yang mengajakku untuk bergabung dalam forum itu. Katanya, biar aku lebih bisa mengembangkan bakatku. Lumayan lah, setidaknya aku bisa mewujudkan ceritaku sekaligus membantu ibu. Kalau kata peribahasa, sambil menyelam minum air :-)
Read More
“Pagi sayang, nyenyak kah tidurmu semalam?”, sapa ibu dari ruang tengah.
“Nyenyak bu. Hari ini aku ke rumah mbak Ninda ya bu?”, jawabku balik bertanya. Ibu tersenyum mengangguk. Aku juga tersenyum, kemudian kembali berjalan. Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi. 20 menit. Aku bersiap-siap pergi.
Di halaman depan, kupanaskan motorku. Hanya Honda model lama. Tapi tidak berarti sudah tidak terpakai lagi. Justru motor inilah yang selalu menemaniku kemana saja. Walaupun terkadang sulit untuk digunakan, tapi inilah motorku satu-satunya. Motor pemberian almarhum ayah dua tahun silam. 10 menit, aku pergi.
Sebenarnya aku agak malas kalau harus keluar pagi ini. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan tugas kuliah. Pulang paling cepat jam 9 malam, dan tidur paling cepat jam 2 pagi. Itupun terkadang tidak nyenyak karena terbayang-bayang tugas yang belum selesai. Dan hari ini adalah hari kosong buatku. Hari yang pas untuk beristirahat. Tapi mau bagaimana lagi? Aku terlanjur janji pada mbak Ninda untuk menemuinya hari ini. Tujuanku satu. Menjadi seorang penulis.
Ya, cita-citaku sejak duduk dibangku SMP adalah menjadi seorang penulis. Sebenarnya aku sudah mulai menulis dari kelas 1 SMP. Hanya saja aku tidak PD dengan karyaku. Berkali-kali aku mengirimkannya ke beberapa media cetak, tapi tetap saja tidak ada yang dimuat, ataupun diterbitkan. Malah pernah ada yang membalasnya dengan mengatakan bahwa karyaku tidak layak disebut sebagai karya. Sakit. Tapi itulah kenyataannya.
Cukup 15 menit untuk berkendara ke rumah mbak Ninda. Jalanan Purwokerto masih terbilang sepi. Paling hanya sekali-dua kali terjadi kemacetan. Itupun karena ada pengemudi angkutan umum yang berhenti semaunya. Aku tiba tepat pukul 08.05. Aku terlambat 5 menit. Tapi sepertinya mbak Ninda tidak seperti bu Dian, dosen kampus yang galak itu.
“Pagi Dinda, rupanya kau terlambat 5 menit dari perjanjian”, sapa mbak Ninda mengagetkanku.
“Iya mbak maaf, tadi aku malas sekali untuk bangun”, jawabku.
“Pasti karena tugas kuliah itu ya? Yasudah, aku bukan bu Dian kok”, goda mbak Ninda. Aku hanya tersenyum, lalu berjalan masuk.
Mulai saat itupun aku mulai belajar banyak. Dari mulai mencari inspirasi untuk ceritaku, mengoreksi bahasa yang kugunakan dalam kalimatku, dan cara mengatasi rasa malas. Lengkap. Sempurna. Tidak ada yang terlewatkan. Hingga akhirnya, setelah dua bulan berlalu, mbak Ninda menyuruhku untuk mengirimkan beberapa cerpen yang telah aku buat. Tidak banyak. Tetapi menarik. Begitu katanya. Yang terpenting adalah keselarasan antara satu cerita dengan cerita yang lainnya. Dan permintaan itupun aku turuti. Aku mengirimkan sepuluh buah karyaku. Semuanya aku kumpulkan jadi satu, lalu aku bukukan. Dan mbak Ninda memberiku dua buah alamat penerbit. Awalnya aku ragu. Walaupun sudah dua bulan belajar, tapi aku masih ragu dengan kemampuanku. Aku takut. Ketakutanku sama. Takut ditolak. Takut diejek. Takut dihina.
“Bagaimana caranya kamu bisa jadi penulis jika untuk mengirimkan karyamu saja kamu takut? Memangnya penerbit-penerbit itu bisa langsung tahu tentang karyamu? Tidak kan?”, begitu katanya ketika aku mengutarakan ketakutanku ini.
* * * * *
Oh iya, aku lupa mengenalkan siapa diriku. Namaku Adinda Saputri. Biasanya, orang-orang memanggilku dengan nama pendek, Dinda. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Di rumah, aku hanya tinggal dengan ibuku dan kedua adikku. Ayahku sudah lama meninggal karena sakit kankernya. Cukup menyedihkan. Tapi aku harus kuat dengan keadaan ini.
Aku duduk dibangku kuliah. Aku juga menyambi kerja paruh waktu pada sebuah toko kue. Penghasilanku lumayan. Walaupun sebenarnya tetap saja tidak mencukupi kebutuhan keluargaku. Dan motor Honda butut itu adalah satu-satunya harta warisan ayah yang tersisa. Selain itu, tidak ada.
Kondisi keluargaku yang seperti inilah yang memaksaku untuk bekerja. Dan aku berharap, aku benar-benar bisa menjadi seorang penulis yang kondang. Bukan apa-apa, aku hanya ingin membantu kondisi keuangan keluargaku. Aku tidak tega jika harus melihat ibu berusaha mati-matian untuk membiayai kuliahku, dan kedua adik-adikku yang sebentar lagi akan pindah sekolah. Itu pasti membutuhkan biaya yang cukup banyak.
Kembali pada cita-citaku. Aku telah mengirimkan karyaku itu ke salah satu penerbit yang disarankan oleh mbak Ninda. Dan ternyata usaha pertamaku gagal. Enam bulan lamanya aku menunggu, penerbit itu sama sekali tidak menghubungiku.
“Untuk menjadi seorang penulis, bukan hanya karya yang bagus saja. Tetapi nama juga diutamakan. Mungkin saat karyamu sampai, ada banyak karya-karya dari penulis lain yang sudah memiliki nama. Biasanya, para penerbit mengutamakan mereka, karena pasti karya-karya merekalah yang banyak pembaca cari. Jangan patah semangat. Coba saja lebih sering mengirimkan karya-karyamu. Mbak yakin, pasti penerbit-penerbit itu lama-lama akan tertarik dengan karyamu, karena begitu seringnya namamu muncul disana”, hibur mbak Ninda. Aku hanya tersenyum paksa. Sangat terpaksa.
Tapi bagaimanapun juga, aku bukanlah tipe orang yang gampang berputus asa. Keraguan itu pasti ada, tapi tidak akan membunuh semangatku. Seminggu vakum, aku mulai menulis lagi. Setiap ada waktu senggang, aku menulis apa saja yang ada di benakku. Saat jam kosong, menjaga toko kue, dan lain sebagainya. Tapi tetap aku tidak mengabaikan kewajiban-kewajibanku. Itu selalu aku utamakan.
Tidak lama, hanya tiga bulan berusaha, akhirnya usahaku terbalaskan. Salah satu karya yang aku kirimkan ternyata menarik perhatian salah satu penerbit. Alasannya sama dengan apa yang dikatakan oleh mbak Ninda. Persis. Mirip. Mereka tertarik karena memang ceritaku menarik, dan namaku sering ada dihadapan mereka. Aku hanya perlu mengirimkan beberapa persyaratan-persyaratan yang harus aku penuhi.
Butuh waktu satu bulan untuk menerbitkan karyaku. Tidak buruk. Walaupun bukan termasuk best seller, setidaknya aku dapat bayaran yang lumayan. Keraguanku mulai hilang, musnah. Kini aku semakin semangat untuk memunculkan ide-ideku. Setahun kemudian, aku bergabung dengan forum dunia tulis. Mbak Ninda lah yang mengajakku untuk bergabung dalam forum itu. Katanya, biar aku lebih bisa mengembangkan bakatku. Lumayan lah, setidaknya aku bisa mewujudkan ceritaku sekaligus membantu ibu. Kalau kata peribahasa, sambil menyelam minum air :-)