Published Sabtu, Mei 19, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Percakapan di Suatu Sore

Seseorang bertanya kepada sekelompok anak kecil di suatu sore. "Kalau sudah besar nanti mau jadi apa?"

Anak-anak itu terdiam, lalu setelahnya salah seorang diantara mereka menjawab. "Aku ingin jadi tukang sampah!" Diikuti dengan tertawaan yang lainnya.

Ditertawakan begitu, anak itu langsung menunduk dan menutupi wajah dengan kedua tangannya. Seseorang itu tersenyum, lalu kemudian mengajukan pertanyaan khusus kepadanya. "Kenapa kamu mau menjadi tukang sampah?"

Ditanya begitu, anak itu pun menjawab dengan malu-malu. "Biar dunia menjadi lebih bersih dan rumahku tidak bau lagi. Aku ingin menempatkan sampah-sampah yang sengaja ditumpuk di dekat rumahku ke tempat yang lain."

Seseorang itu kembali tersenyum, menghembuskan napasnya perlahan, lalu setelahnya menatap satu per satu wajah sekelompok anak kecil yang duduk mengitarinya itu. "Tidak ada salahnya jika Fulan ingin menjadi tukang sampah. Tapi kalau mau jadi tukang sampah, harus tukang sampah yang sukses. Bosnya tukang sampah." Ujarnya.

Mendengar jawaban itu, anak yang tadinya sedikit menyembulkan bibirnya itupun tersenyum, lalu membusungkan dadanya sambil berucap. "Tuh kan! Tidak ada yang salah dengan bercita-cita menjadi tukang sampah!" Adunya dengan sisa-sisa kepercayaan dirinya. Ia merasa telah dibela dan menjadi lebih yakin dengan apa yang sempat diucapkannya.

Kali ini, anak-anak yang lain pun ikut mengangguk. Lalu, satu persatu diantara mereka mulai ikut menyuarakan apa yang selama ini menjadi keinginan mereka.

"Kalau begitu, aku ingin jadi tukang parkir!"
"Kalau aku ingin jadi supir bus!"
"Kalau aku ingin punya warung makan di pinggir jalan! Biar ayahku dan teman-temannya bisa makan sepuasnya di warungku!"
"Kalau aku ingin jadi petani!"
"Kalau aku... belum tahu. Tapi nanti aku akan menanyakannya pada ibuku. Sekarang mau jadi anak baik-baik saja dulu."

Seseorang itu pun kembali tersenyum. Entah sudah berapa kali ia tersenyum, namun kali ini senyumnya tampak lebih lebar dari sebelumnya. Anak-anak di hadapannya kini terlihat lebih bersemangat. Beberapa diantaranya menjadi saling bercerita, seorang lainnya tampak sedang bertopang dagumungkin masih memikirkan ingin jadi apa jika ia sudah besar nanti, dan beberapa bersenda gurau satu sama lain; hingga Adzan maghrib berkumandang.

Tanpa dikomando, salah seorang yang bertubuh paling besar langsung memimpin doa, lalu mempersilahkan teman-temannya meraih gelas-gelas di hadapan mereka. Serentak meneguk isinya, dan kemudian langsung berlarian dan bergilir mengambil air wudhu di belakang masjid, berlomba-lomba untuk duduk di shaf paling terdepan; membuat seseorang itu menjadi tersadar akan sesuatu hal.

Ternyata karakter yang terbentuk dari kerasnya jalanan justru mampu membuat mereka lebih memahami arti kehidupan yang sebenarnya.