Published Senin, Mei 07, 2018 by Hannan Izzaturrofa

Jadi, Apa Sebenarnya Mimpimu, Nan?

Aku baru saja menyelesaikan tulisanku tentang perjalanan bermainku yang cukup melelahkan, namun aku belum juga mengantuk. Padahal, besok aku harus berada di kantor sebelum jam sembilan pagi. Entahlah, rasanya mataku seperti belum mau beristirahat, meskipun tubuhku sudah terasa sangat lelah; pegal sekali. Dan untuk 'melelahkan' kedua mataku itu, aku pun memutuskan untuk membaca sebuah linimasa seorang teman.

Tulisannya sangat sederhana. Ia hanya bercerita tentang apa yang ia rasakan, apa yang ia bicarakan, dan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya. Cukup banyak hal yang ia tulis hari ini, dan semuanya sangat mudah untuk dibaca. Namun, ada salah satu postingan yang membuatku sedikit berpikir panjang. Ya, postingan tentang obrolannya dengan salah seorang temannya di pinggir jalan. Obrolan tentang menulis.

Sebenarnya bukan inti dari postingannya yang membuatku berpikir panjang seperti ini, meskipun aku memang setuju dengan apa yang ditulisnya; tetapi tentang nama-nama yang ia sebutkan di postingan itu. Ya, ia menyebutkan dua buah nama, dari dua orang yang menurutnya memberi pengaruh besar terhadap semangatnya untuk menulis dan membaca saat ini. Yang satu memang merupakan teman lamanya, yang mungkin pertemanan mereka sudah berjalan sejak mereka berdua duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun, nama kedua yang ia sebutkan merupakan nama seorang teman kerjanya, yang baru dua bulan belakangan ini dikenalnya.

Harus aku akui, aku iri dan cemburu ketika ia menyebutkan nama itu di postingannya. Aku seperti berpikir, setelah kurang lebih hampir empat tahun kami berteman, sepertinya tidak pernah sekalipun ia menyebutkan namaku di postingan linimasa miliknya. Entah itu blog ataupun sosial media lainnya. Aku berpikir, apakah ia tidak pernah sekalipun bangga memiliki teman sepertiku? Atau, aku juga berpikir, apakah aku memang tidak pernah sekalipun memberikan dampak positif terhadap kehidupannya? Entahlah, tapi harus aku akui, aku memang benar-benar iri saat itu. Cukup lama aku berpikir. Sedikit menggerutu dalam hati, meski tidak sampai memaki-maki. Sampai akhirnya sampai pada suatu pemikiran yang membuatku sedikit merasa bersalah.

Ya, aku tersadar, sepertinya aku salah jika justru menyalahkan temanku itu karena tidak pernah menceritakan hal apapun yang berhubungan denganku. Memang sebenarnya temanku itu tidak salah, bukan? Bukan ia yang tidak mau menceritakan apapun, tetapi, apakah memang ada hal yang ia bisa ceritakan tentangku? Apakah memang ada hal baik yang ia bisa ambil dari kisah pertemanan kita selama ini? Apakah memang ada pengaruh baik dariku yang mampu membuatnya berubah menjadi seseorang yang lebih baik lagi? Ah, aku malu sekali karena sempat merasa iri.

Tersadar, aku memang tidak memiliki kelebihan ataupun pengaruh apapun terhadap hidupnya selama ini. Tiba-tiba saja aku jadi menyesali perubahanku. Kemana Hannan yang dulu? Kemana Hannan yang suka mengambil hikmah dari setiap kejadian kecil, dan menuliskannya di linimasa? Kemana Hannan yang suka menghabiskan waktu untuk mengikuti event menulis dan menghasilkan sebuah karya antologi? Kemana Hannan yang dulu rajin sekali mencari info-info lomba menulis dan event-event menulis? Kemana Hannan yang dulu rajin sekali mempelajari agar bisa menjadi seorang psikolog meskipun tidak pernah mengambil mata kuliahnya?

Aku masih ingat sekali, ketika dulu aku sempat dikenalkan dengan mas A, salah satu kakak tingkat yang sampai sekarang masih menjadi pembimbing 'tulis-menulis' di kampus; yang namanya sudah dikenal hingga ke luar negeri. Saat itu, mas A juga sempat mengenalkanku kepada salah seorang temannya, perempuan, yang aku lupa namanya dan mendorongku untuk mengembangkan hobi menulisku ke arah yang positif. Mereka mengajakku untuk mengikuti sebuah lomba tingkat internasional, dan bersedia menjadi pembimbingku hingga aku sukses. Aku juga ingat, ketika mas F--yang juga merupakan kakak tingkat di kampusku--yang mengenalkanku kepada temannya yang merupakan seorang 'ratu antologi' pada zamannya, dan menyebutku sebagai penerus 'ratu antologi' generasi berikutnya, karena saking produktifnya aku menulis saat itu.

Dan seingatku, dulu aku juga sempat menjadi anggota salah satu komunitas menulis, yang pada setiap bulannya memperbolehkan para anggotanya untuk mengirimkan hasil karyanya untuk diberi masukan oleh para editor kelas atas. Pun dulu, aku selalu menargetkan untuk menghasilkan setidaknya satu buah karya setiap bulannya, dan menyimpan pengingat itu dalam sebuah tulisan yang ditempelkan di langit-langit kasur asrama bagian bawah--kasur milikku.

Namun, sekarang, kenapa kamu berubah, Nan? Apa yang membuatmu berubah? Kenapa kamu meninggalkan itu semua, Nan?

Bukannya kamu bercita-cita untuk menjadi penulis sebuah novel dan cerita anak? Bukannya kamu dulu sangat menyukai seni dan selalu menyengaja untuk pulang lebih malam ketika masih duduk di sekolah menengah kejuruan, hanya untuk menonton para pemain teater sekolahmu yang sedang latihan di kantin sekolah? Bukannya kamu selalu memesan tiket pertunjukan teater sebelum tiket itu dijual, karena selalu takut kehabisan? Bukannya kamu ingin memiliki perpustakaan pribadi di rumah, yang sebagian bukunya adalah hasil karyamu sendiri? Bukannya kamu ingin membuka rumah baca bagi anak-anak jalanan? Bukannya... bukannya... Aku bahkan tak sanggup untuk menyebutkan semuanya.

Intinya, yang ingin aku tanyakan kepadamu sebenarnya adalah, apa sebenarnya mimpimu sekarang, Nan? Apa yang sebenarnya sedang kamu rencanakan? Apa sekarang kamu bisa menjawabnya?

Jika tidak, sepertinya mulai hari ini kamu harus lebih banyak merenung, bukannya menghabiskan waktumu hanya untuk bermain ponsel dan melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat; memikirkan apa sebenarnya tujuan hidupmu saat ini; selain yang pastinya, hal utamanya adalah untuk beribadah kepada Allah.


Jakarta, 7 Mei 2018; 02.10
Tak ku sangka, malam ini aku kembali menangis;
namun tangisan itu bukan tangisan yang harus mengeluarkan air mata.